JAKARTA - Siapa sangka, rasa gelisah dan mudah tersulut emosi bisa berawal dari hal sederhana: lupa minum air. Peneliti menemukan bahwa kurangnya asupan cairan mampu memicu reaksi stres dalam tubuh, bahkan tanpa disadari oleh penderitanya.
Sebuah riset dari Liverpool John Moores University mengungkap fakta mengejutkan ini melalui studi yang diterbitkan dalam Journal of Applied Physiology. Tim ilmuwan mendapati bahwa tubuh yang kekurangan cairan justru merespons situasi sehari-hari dengan lonjakan hormon stres yang signifikan.
Penelitian tersebut menyoroti betapa pentingnya menjaga hidrasi, bukan hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga kestabilan mental. Ketika tubuh kekurangan air, sistem saraf bekerja lebih keras dan otak menjadi lebih sensitif terhadap tekanan eksternal.
Profesor Neil Walsh, peneliti utama, menjelaskan bahwa kebiasaan sederhana seperti membawa botol air bisa menjadi “pertahanan pertama” terhadap stres yang muncul di tengah kesibukan. Ia menegaskan bahwa langkah kecil itu berdampak besar terhadap kesehatan jangka panjang.
Hormon Stres Melonjak Akibat Tubuh Kehilangan Cairan
Dalam penelitian tersebut, para ilmuwan membagi peserta yang terdiri dari orang dewasa sehat ke dalam dua kelompok berbeda. Kelompok pertama diminta mengonsumsi air dalam jumlah cukup, sedangkan kelompok kedua mempertahankan asupan rendah, di bawah 1,5 liter per hari.
Setelah satu minggu, kondisi hidrasi para peserta dipantau melalui pemeriksaan darah dan urine. Hasil pemantauan menunjukkan perbedaan mencolok pada respons tubuh terhadap stres di antara kedua kelompok.
Peserta dengan asupan cairan rendah mengalami peningkatan kadar kortisol hingga 50 persen dibanding mereka yang cukup minum. Kortisol dikenal sebagai hormon utama yang dilepaskan tubuh saat menghadapi tekanan atau ancaman.
Tingginya kadar kortisol dalam jangka panjang dapat memicu berbagai masalah kesehatan serius. Di antaranya peningkatan risiko penyakit jantung, gangguan metabolisme seperti diabetes, hingga munculnya gejala depresi.
Menurut Walsh, efek ini tidak langsung terasa dalam sehari. Namun, kebiasaan menunda minum air perlahan dapat mengubah keseimbangan hormon dan membuat tubuh lebih mudah merasa cemas.
Dehidrasi Bikin Otak Aktifkan Mekanisme Panik
Para peserta kemudian menjalani Trier Social Stress Test, sebuah simulasi stres di dunia nyata. Mereka diminta melakukan wawancara kerja palsu serta menghitung cepat di depan penguji tanpa bantuan alat.
Hasilnya cukup mengejutkan karena kelompok yang kekurangan cairan menunjukkan lonjakan kadar kortisol yang signifikan. Menariknya, mereka tidak merasa haus sama sekali, menandakan bahwa dehidrasi bisa terjadi tanpa disadari.
Secara neurologis, dehidrasi memicu pelepasan hormon vasopresin yang biasanya bekerja untuk membantu ginjal mengatur keseimbangan air. Namun, vasopresin juga berperan dalam mengaktifkan pusat stres di otak, tepatnya pada bagian hipotalamus.
Ketika hormon ini meningkat, sistem saraf menjadi lebih siaga dan tubuh bereaksi seolah sedang menghadapi ancaman. Akibatnya, seseorang bisa merasa tegang, sulit fokus, dan cepat panik meski tidak ada pemicu yang jelas.
Daniel Kashi, anggota tim peneliti, menegaskan pentingnya memperhatikan sinyal kecil dari tubuh seperti mulut kering, kelelahan, atau sulit konsentrasi. Ia menyebut, gejala tersebut sering diabaikan padahal bisa menjadi tanda awal dehidrasi ringan.
Kashi menambahkan, memastikan tubuh cukup air merupakan cara paling sederhana untuk membantu otak tetap tenang. Dengan hidrasi yang baik, sistem hormonal bekerja seimbang dan respon stres lebih terkendali.
Langkah Sederhana untuk Menjaga Ketenangan Tubuh
Menjaga tubuh tetap terhidrasi ternyata tidak sesulit yang dibayangkan. Salah satu indikator paling mudah adalah warna urine kuning muda menandakan tubuh mendapat cukup cairan, sedangkan kuning tua bisa berarti dehidrasi.
Kebiasaan kecil seperti menaruh botol air di meja kerja atau di samping tempat tidur bisa menjadi pengingat efektif. Dengan begitu, kebutuhan cairan tubuh terpenuhi tanpa harus menunggu rasa haus datang.
Selain air putih, konsumsi buah-buahan yang kaya air seperti semangka, jeruk, atau mentimun juga membantu menambah asupan cairan harian. Tubuh yang cukup air akan menjaga suhu tetap stabil dan sirkulasi darah berjalan lancar.
Kelebihan cairan pun tidak perlu dikhawatirkan selama asupannya masih dalam batas wajar. Tubuh manusia memiliki mekanisme alami untuk menyeimbangkan cairan melalui keringat dan urine.
Walsh menekankan, tidak perlu menunggu tubuh merasa lemas baru minum air. Karena saat rasa haus muncul, tubuh sebenarnya sudah mengalami penurunan hidrasi sekitar dua persen.
Langkah kecil ini bisa menjadi strategi sederhana menghadapi tekanan pekerjaan, rutinitas padat, hingga tuntutan hidup yang sering memicu stres. Dengan tubuh yang terhidrasi, pikiran cenderung lebih jernih dan emosi lebih stabil.
Air: Sahabat Terlupakan untuk Menenangkan Pikiran
Banyak orang sibuk mencari cara cepat mengurangi stres mulai dari meditasi, aromaterapi, hingga vitamin penenang. Namun, kunci ketenangan sering kali dimulai dari hal yang paling dasar, yaitu air.
Ketika tubuh cukup cairan, sistem hormonal, pencernaan, dan fungsi otak berjalan selaras. Otak mampu memproses tekanan dengan lebih tenang, dan tubuh tidak bereaksi berlebihan terhadap hal kecil.
Air bukan hanya sekadar pelepas dahaga, melainkan bahan bakar penting bagi kestabilan emosi. Dengan menjaga hidrasi, tubuh mendapatkan sinyal aman yang menenangkan sistem saraf.
Dehidrasi ringan bahkan dapat mengubah suasana hati tanpa disadari. Karena itu, menjaga kebiasaan minum cukup air bisa menjadi bentuk perawatan diri paling mudah dan murah yang sering dilupakan banyak orang.
Akhirnya, menjaga hidrasi bukan sekadar soal kesehatan fisik, melainkan juga tentang keseimbangan jiwa. Air memberi ketenangan pada tubuh, menenangkan pikiran, dan menjaga kita tetap waras di tengah tekanan kehidupan modern.