JAKARTA – Menteri Investasi sekaligus Plt. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan kebijakan tegas pemerintah untuk menghentikan impor minyak dari Singapura selama enam bulan ke depan. Keputusan ini diumumkan dalam sebuah pernyataan resmi di acara Partai Golkar, Jakarta Barat.
Langkah ini, menurut Bahlil, bertujuan untuk memperkuat kedaulatan energi nasional dan menegaskan arah baru dalam strategi geopolitik dan geostrategis Indonesia. Ia menilai bahwa mengimpor minyak dari negara yang bukan produsen minyak merupakan langkah yang tidak mencerminkan kemandirian dan harga diri bangsa.
“Saya langsung memutuskan enam bulan ke depan enggak boleh lagi kita impor minyak dari Singapura. Kita impor saja dari Middle East. Jauh lebih bermartabat kita dapat minyak dari Middle East karena dia adalah negara penghasil minyak,” tegas Bahlil di hadapan awak media.
Impor dari Negara Non-Produsen Dinilai Tidak Strategis
Dalam penjelasannya, Bahlil mengkritik keras kebijakan impor minyak dari Singapura yang selama ini menjadi salah satu pemasok utama bahan bakar minyak (BBM) ke Indonesia. Padahal, Singapura sendiri bukanlah negara produsen minyak, melainkan hanya negara yang mengolah dan mengekspor kembali hasil olahannya.
Data menyebutkan bahwa 54 persen dari total impor BBM Indonesia berasal dari Singapura. Bahlil menyebut kondisi ini sebagai "strategi yang memalukan" karena Indonesia secara tidak langsung membeli dari negara yang tidak memiliki sumber daya minyak mentah.
“Negara enggak punya minyak, tapi kita beli dari sana. Dari total produksinya, 34 persen itu marketnya di Indonesia. Harganya sama dengan Middle East. Saya katakan ini kan sebuah strategi yang memalukan,” ujarnya.
Fokus pada Kedaulatan Energi dan Efisiensi
Bahlil menjelaskan bahwa kebijakan pengalihan sumber impor minyak ke negara-negara Timur Tengah merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat kedaulatan energi dan menghindari ketergantungan terhadap negara yang tidak memiliki sumber daya alam tersebut.
“Ini soal kedaulatan, soal harga diri bangsa. Kalau kita bisa langsung dapat dari sumbernya, kenapa harus dari pihak ketiga?” tambahnya.
Ia juga menyinggung keputusan ini sebagai langkah korektif terhadap kebijakan sebelumnya yang dianggap kurang berpihak pada kepentingan strategis nasional.
Sindiran Tajam terhadap Kebijakan Lama
Dalam penyampaiannya, Bahlil bahkan mengkritik para pengambil kebijakan sebelumnya yang dinilainya kurang cermat dalam menyusun strategi energi nasional.
“Ini otak kita ini kan sebenarnya enggak tahu ya, kita sekolahnya enggak tamat atau gimana. Bingung juga saya, gitu,” kata Bahlil, menyindir keras pengambilan kebijakan lama yang menurutnya tidak masuk akal.
Pernyataan tersebut menjadi sorotan publik karena menyiratkan ketidakpuasan atas arah kebijakan energi nasional selama ini, khususnya terkait pemilihan negara mitra dagang minyak.
Dukungan terhadap Diversifikasi Sumber Energi
Sejalan dengan keputusan menghentikan impor dari Singapura, Bahlil juga sebelumnya menyampaikan rencana untuk menambah pasokan minyak dan LPG dari Amerika Serikat, senilai Rp168 triliun. Hal ini menjadi bagian dari strategi diversifikasi pasokan energi untuk menjamin ketahanan energi nasional dalam jangka panjang.
Kebijakan ini turut memperkuat langkah pemerintah dalam mendorong efisiensi dan transparansi dalam rantai pasok energi, serta meningkatkan posisi tawar Indonesia di kancah internasional.
Implikasi Terhadap Industri Energi Nasional
Kebijakan penghentian impor dari Singapura ini diperkirakan akan berdampak pada berbagai lini industri energi dalam negeri, termasuk BUMN dan pelaku usaha sektor hilir migas. Namun, sejumlah pengamat menilai langkah ini bisa menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperkuat kapasitas kilang domestik dan mempercepat pembangunan infrastruktur energi strategis.
Pemerintah sendiri telah menargetkan sejumlah pembangunan kilang minyak baru dan peningkatan kapasitas kilang eksisting untuk memenuhi kebutuhan domestik tanpa ketergantungan impor yang tinggi.
Langkah Politik atau Strategi Nasional?
Kendati menuai pro dan kontra, keputusan Bahlil ini menunjukkan arah baru dalam kebijakan energi nasional yang lebih menekankan pada kemandirian dan kehormatan negara dalam berelasi dengan dunia luar.
Ke depan, implementasi kebijakan ini akan menjadi ujian bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas pasokan dan harga BBM di tengah tantangan global dan domestik.
“Kita harus berani mengambil keputusan besar demi masa depan energi bangsa ini,” pungkas Bahlil.