JAKARTA - Dunia hiburan Korea Selatan baru saja kehilangan salah satu sosok berbakatnya, Kim Sae-ron, yang ditemukan meninggal dunia pada usia 24 tahun di kediamannya yang terletak di kawasan Seongdong, Seoul. Kepergian aktris muda ini kembali memicu perbincangan publik tentang tekanan sosial dan budaya pencemaran nama baik yang masih sangat kental di negeri ginseng. Kerabat dekat dan pihak kepolisian menyatakan bahwa teman dari Kim Sae-ron, yang telah berencana untuk menemui aktris tersebut, adalah orang pertama yang melaporkan insiden ini kepada pihak berwenang setelah menemukan Sae-ron tak bernyawa.
Kim Sae-ron, yang lahir pada 31 Juli 2000, memulai kariernya di dunia hiburan sejak usia sembilan tahun. Ia dikenal sebagai salah satu aktris cilik yang paling menjanjikan di Korea Selatan. Namun, hidupnya berubah drastis setelah insiden kecelakaan mobil pada Mei 2022, di mana ia diketahui berkendara di bawah pengaruh alkohol di kawasan Gangnam. Akibat kecelakaan tersebut, Kim Sae-ron dikritik habis-habisan hingga mengalami fenomena "cancel culture" dan dilarang tampil di televisi nasional, serta didenda secara finansial.
Na Jong-ho, seorang akademisi dari Yale University School of Medicine dan juga seorang pakar kesehatan jiwa, mengangkat suaranya terkait kasus ini. Dalam unggahannya di media sosial, Na berujar, "Saya tidak menganggap masyarakat yang mengenyahkan orang dari masyarakat tanpa memberikan kesempatan untuk pulih hanya karena mereka melakukan kesalahan, adalah masyarakat yang sehat." Na Jong-ho juga menilai budaya sosial Korea Selatan tidak banyak berbeda dengan realitas mengerikan yang digambarkan dalam serial populer "Squid Game", di mana individu tidak diberi kesempatan kedua setelah melakukan kesalahan, sebesar atau sekecil apapun.
"Saya biasanya tidak mengomentari individu, tapi saya tidak tahan karena saya sangat yakin bahwa kematian aktris Kim Sae-ron bagai kematian yang didorong ke tepi jurang," tambah Na Jong-ho. Ia juga menambahkan kutipan emosional lainnya, "Berapa banyak nyawa yang harus hilang sebelum mereka berhenti menekankan rasa malu yang merusak tanpa memberi siapa pun kesempatan untuk bernapas sejenak?" Pernyataan tajam Na Jong-ho tersebut menyebar luas, mendapatkan banyak perhatian dan menimbulkan perdebatan publik mengenai tekanan sosial dan standar kesempurnaan dalam budaya Korea Selatan.
Penekanan budaya malu dan dampak sosial yang dihadapi Kim Sae-ron setelah insiden kecelakaan tersebut memperlihatkan sisi gelap dari fenomena cancel culture yang berkembang pesat. Fenomena ini menggambarkan bagaimana individu atau kelompok dapat kehilangan dukungan publik menyusul insiden atau perbuatan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat. Kim Sae-ron menjadi salah satu korban dari tekanan sosial ini, yang akhirnya berujung pada duka mendalam bagi keluarga dan para penggemarnya.
Pemakaman Kim Sae-ron sendiri dijadwalkan akan digelar pada 19 Februari 2025 di Seoul Asan Medical Center, sedangkan upacara peringatan sudah dilakukan mulai 17 Februari 2025. Pihak keluarga dan koleganya berharap momen ini dapat menjadi refleksi bagi seluruh masyarakat untuk lebih memahami pentingnya memberikan ruang pemulihan dan dukungan bagi mereka yang berbuat kesalahan. Tidak semata-mata menghukumnya dengan stigma yang berkepanjangan.
Kasus ini juga mengundang perhatian berbagai kalangan, termasuk para ahli kesehatan jiwa dan akademisi yang mendesak untuk adanya perubahan dalam cara masyarakat menangani kesalahan yang dilakukan individu, terutama di lingkungan yang memiliki tekanan sosial tinggi seperti industri hiburan Korea Selatan. Mengutip pernyataan Na Jong-ho, "Masyarakat kita yang menelantarkan orang yang melakukan kesalahan atau tertinggal dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa, ibarat Squid Game versi raksasa."
Karena itu, banyak pihak berharap, kepergian Kim Sae-ron bisa menjadi sebuah titik balik untuk mencermati kembali bagaimana masyarakat bereaksi terhadap kesalahan dan memberikan kesempatan bagi individu untuk memulai kembali. Dukungan dan rehabilitasi seharusnya menjadi opsi utama dibandingkan dengan stigma dan pengucilan sosial yang dapat berujung fatal.
Kematian Kim Sae-ron sekali lagi mengingatkan kita akan pentingnya dukungan mental dan sosial bagi para publik figur yang sering kali menjadi sorotan. Kebijakan media dan masyarakat yang lebih memahami dan pemaaf diharapkan bisa tercipta seiring dengan meningkatnya kesadaran terkait kesehatan mental di tengah gaya hidup modern yang penuh dengan tekanan.
Semoga Kim Sae-ron menemukan kedamaian di peristirahatan terakhirnya, dan semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat, membawa perubahan positif bagi generasi mendatang.