Megaproyek

Megaproyek Bendungan Jenelata Tersendat Gara Gara Sengketa Lahan

Megaproyek Bendungan Jenelata Tersendat Gara Gara Sengketa Lahan
Megaproyek Bendungan Jenelata Tersendat Gara Gara Sengketa Lahan

JAKARTA - Proyek Bendungan Jenelata di Kabupaten Gowa kembali menghadapi hambatan signifikan akibat persoalan lahan. Dari kebutuhan total 1.722 hektare, pembebasan tanah baru mencapai 9,7 persen, sementara sengketa di Desa Tanakaraeng menjadi titik krusial yang menentukan kelanjutan pembangunan.

Sengketa Lahan Jadi Kendala Utama

Progres pembebasan lahan untuk Bendungan Jenelata masih jauh dari target. Dari luas total 1.722 hektare, baru sekitar 167 hektare yang berhasil dibebaskan. Kendala terbesar muncul pada lahan seluas 20,9 hektare yang terdiri dari 26 bidang tanah di Desa Tanakaraeng, Kecamatan Manuju.

Lahan tersebut kini diperebutkan antara warga yang mengaku telah lama menggarap dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dengan BUMN PTPN I Regional 8 yang juga mengklaim sebagai pemilik sah. Sengketa ini menjadi krusial karena area tersebut termasuk dalam kawasan prioritas untuk konstruksi bendungan.

Syahruddin, salah seorang warga, mengaku menguasai lahan sejak tahun 2016 dan selama ini membayar PBB. “Selama ini kita garap lahan dengan perkebunan,” ujarnya.

Kuasa Hukum warga, Heri Samsudin, menambahkan bahwa ada 26 kepala keluarga yang tercatat menguasai lahan seluas 20,9 hektare. Menurutnya, warga tidak menolak pembangunan bendungan, namun meminta hak mereka dipenuhi.

“Tuntutan warga adalah ganti rugi. Mereka tidak menghalangi pemerintah karena pembangunan bendungan adalah kewajiban negara,” kata Heri. “Tapi ada hak warga yang harus dipenuhi, yaitu ganti rugi atas tanah yang selama ini mereka kelola untuk bercocok tanam dan berkebun,” tambahnya.

Upaya Pemerintah dan Harapan Warga

Heri juga menekankan bahwa benang merah persoalan ini adalah klaim tumpang tindih antara warga dan PTPN. Meski begitu, warga menyerahkan penentuan harga ganti rugi sepenuhnya kepada pemerintah melalui lembaga appraisal.

“Masyarakat menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk menaksir melalui lembaga appraisal. Informasi yang kami peroleh, harga appraisal berkisar Rp150 ribu per meter. Berapapun hasil appraisal nanti, warga siap menerima,” jelasnya.

Pemerintah dihadapkan pada tugas yang tidak mudah, yakni menyelesaikan sengketa lahan tanpa menghambat kelanjutan pembangunan bendungan yang menjadi proyek strategis nasional. Kejelasan status lahan menjadi krusial untuk memastikan proyek dapat berjalan tepat waktu dan efisien.

Sementara itu, warga berharap proses pembebasan lahan dapat berlangsung adil dan transparan. Mereka menyadari pentingnya bendungan bagi kepentingan publik, termasuk penyediaan air irigasi dan peningkatan ketahanan air di Kabupaten Gowa. Namun, pemenuhan hak-hak warga tetap menjadi syarat agar pembangunan dapat diterima secara sosial.

Dengan adanya sengketa ini, proyek Bendungan Jenelata menghadapi risiko tertundanya konstruksi. Proses mediasi antara warga, PTPN, dan pemerintah perlu ditangani secara hati-hati agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan.

Ke depan, pemerintah dituntut untuk mengedepankan mekanisme appraisal yang transparan dan komunikasi terbuka dengan masyarakat terdampak. Pendekatan ini diharapkan mampu menyelesaikan sengketa dengan cara yang adil sekaligus memastikan proyek bendungan tetap berjalan sesuai rencana.

Bendungan Jenelata menjadi proyek vital yang berperan dalam peningkatan ketersediaan air untuk pertanian dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa lahan bukan hanya menjadi masalah administratif, tetapi juga krusial bagi keberhasilan proyek yang berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Gowa.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index