JAKARTA - Di tengah target pertumbuhan 10–15% yang dicanangkan pada awal 2025, pelaku bisnis logistik di Indonesia kini dihadapkan pada situasi yang jauh dari ekspektasi. Kondisi pasar yang tertekan oleh daya beli masyarakat yang menurun, ketidakpastian ekonomi global, serta kebijakan efisiensi belanja pemerintah, membuat berbagai strategi penyesuaian harus segera dijalankan.
Bagi industri logistik, tahun ini menjadi ajang uji ketahanan dan kecepatan beradaptasi. Perusahaan tak hanya dituntut menjaga kinerja operasional, tetapi juga mencari celah pertumbuhan di tengah tekanan yang datang dari berbagai arah.
Tekanan Ekonomi Membentuk Ulang Peta Persaingan
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) mengungkapkan bahwa penurunan daya beli secara langsung mempengaruhi volume pengiriman barang dan permintaan jasa logistik. Tren belanja masyarakat yang lebih selektif membuat arus distribusi menurun, sehingga kapasitas yang biasanya terpakai optimal kini tidak terisi penuh.
Selain itu, gejolak perekonomian global turut menjadi faktor penghambat. Ketidakpastian pasar internasional membuat sektor logistik nasional kehilangan sebagian momentum yang sempat diraih pada awal tahun. Dalam situasi ini, peran ekspor-impor yang biasanya mendukung pertumbuhan logistik ikut mengalami perlambatan.
Tak kalah penting, kebijakan penghematan anggaran pemerintah di berbagai lini termasuk dalam pengadaan barang dan distribusi membatasi potensi permintaan dari sektor publik. Padahal, proyek-proyek pengadaan pemerintah kerap menjadi salah satu sumber volume pengiriman yang cukup besar bagi pelaku logistik.
ALI menilai ketiga faktor ini menjadi katalis negatif utama yang membuat target pertumbuhan awal tahun terasa semakin berat dicapai. Meski begitu, peluang tetap ada bagi mereka yang mampu memanfaatkan teknologi, membangun kemitraan, dan mengelola biaya dengan cermat.
Adaptasi Menentukan Kelangsungan Usaha
Dalam menghadapi tekanan ini, pelaku logistik dituntut memperkuat efisiensi operasional. Penggunaan sistem manajemen rantai pasok berbasis digital menjadi salah satu langkah prioritas. Dengan digitalisasi, pelacakan barang dapat dilakukan secara real time, distribusi bisa diatur lebih presisi, dan penggunaan armada dapat dioptimalkan untuk mengurangi biaya bahan bakar.
Penyesuaian tarif juga menjadi opsi strategis. Meski berisiko mengurangi daya tarik bagi sebagian konsumen, penyesuaian ini diperlukan untuk menutup biaya operasional yang meningkat. Di sisi lain, pengembangan layanan berbasis nilai tambah seperti penyimpanan dingin untuk produk segar, jasa fulfillment e-commerce, atau pengiriman cepat dalam kota dapat menjadi sumber pendapatan baru.
Kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah juga tak kalah penting. Misalnya, melalui kerja sama dalam proyek infrastruktur logistik, penyediaan jalur distribusi baru, atau pengembangan pusat distribusi regional. Dukungan kebijakan yang kondusif dapat membantu pelaku industri tetap bertahan di tengah kondisi pasar yang menantang.
ALI menekankan, kinerja sektor logistik akan menjadi salah satu cermin kesehatan ekonomi domestik. Jika sektor ini mampu bertahan dan tumbuh, maka stabilitas distribusi barang dan arus perdagangan dalam negeri dapat terjaga.
Melihat ke depan, para pemain di industri logistik perlu menyadari bahwa tahun 2025 bukan hanya tentang mengejar angka pertumbuhan, tetapi juga tentang membangun fondasi yang lebih tangguh untuk menghadapi guncangan serupa di masa depan. Ketahanan ini hanya bisa dicapai melalui inovasi, adaptasi cepat, dan kemampuan membaca perubahan pasar dengan jeli.
Dengan langkah-langkah tersebut, meskipun target awal mungkin sulit tercapai, industri logistik masih memiliki peluang untuk tetap mencatat kinerja positif di tengah tantangan yang ada.