8 Contoh Tari Berpasangan Tradisional yang Ada di Indonesia

8 Contoh Tari Berpasangan Tradisional yang Ada di Indonesia
contoh tari berpasangan

Contoh tari berpasangan menggambarkan dua penari tampil bersama dalam satu pertunjukan untuk mencerminkan makna tarian secara utuh.

Secara umum, tari berpasangan merupakan bentuk tari yang dimainkan oleh dua orang, bukan secara individu. 

Namun demikian, ada pula bentuk tarian kelompok atau massal yang tetap bisa dikategorikan sebagai tari berpasangan jika tarian tersebut ditampilkan secara berduet atau berpasangan di dalamnya.

Kunci utama dalam tari jenis ini adalah adanya interaksi, keterhubungan, serta saling melengkapi antara dua penari dalam setiap gerakan yang mereka tampilkan. 

Hal ini menunjukkan bahwa tarian dilakukan dengan respons yang terarah serta keselarasan yang tercipta antara kedua penampil.

Dalam konteks tari tradisional Indonesia, terdapat beberapa jenis kategori yang termasuk ke dalam tari berpasangan, seperti putra-putri, putri halus, putri lincah, putra halus, dan putra gagah. 

Untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai bentuk tari ini, berikut contoh tari berpasangan yang dapat dijadikan referensi.

Contoh Tari Berpasangan

Contoh tari berpasangan dapat ditemukan dalam berbagai pertunjukan yang menampilkan dua penari dengan gerakan selaras dan saling melengkapi. Berikut ini beberapa di antaranya:

1. Tari Serampang Dua Belas

Tari Serampang Dua Belas merupakan bentuk tari tradisional dari wilayah Sumatera Utara. Tarian ini merupakan warisan budaya klasik dari masyarakat Melayu dan merupakan ciptaan Guru Sauti. 

Kisah yang disampaikan melalui tarian ini berkisah tentang perjalanan cinta sepasang insan manusia, dimulai dari tahap perkenalan hingga berujung pada ikatan pernikahan.

Sebagai tari yang dilakukan berpasangan, tarian ini menyampaikan ajaran moral, yaitu bila telah menemukan pasangan yang dirasa tepat, maka sebaiknya segera mengambil langkah serius menuju jenjang pernikahan tanpa menunda waktu.

Sebelum dikenal dengan nama yang sekarang, tarian ini mulanya dinamai Pulau Sari, sejalan dengan judul lagu yang mengiringinya. 

Namun, nama tersebut dianggap kurang tepat karena umumnya tarian dengan nama "Pulau" biasanya memiliki irama cepat dan dinamis layaknya rumba.

Nama “Dua Belas” sendiri mencerminkan bahwa tarian ini memiliki kecepatan gerakan yang tinggi, di antara lagu-lagu dengan judul Serampang. 

Selain itu, perubahan nama ini juga menggambarkan jumlah gerakan yang ditampilkan, yaitu sebanyak dua belas jenis gerakan tari yang membentuk keseluruhan rangkaian tarian tersebut.

Sebagai karya klasik yang sudah lama dikenal, tari ini memiliki pengaruh besar terhadap bentuk-bentuk tari tradisional dari wilayah lain di Nusantara. 

Kemunculannya sejak era 1930-an menjadi bagian dari gerakan budaya yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh barat serta menumbuhkan semangat kebangsaan di kalangan masyarakat.

Sejak awal penciptaannya, tarian ini mampu menjadi simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia, sekaligus berfungsi sebagai bentuk hiburan dan sarana interaksi sosial.

Namun, di sisi lain, tarian ini juga pernah menuai kontroversi karena iringan musik yang digunakan dianggap memiliki unsur musik dari Branyo yang berasal dari budaya Portugis.

Tarian ini memiliki akar dari tradisi Ronggeng Melayu dan diawali dengan tiga lagu pembuka yakni Serampang Laut, Gunung Sayang, serta Pulau Sari. 

Musik pengiringnya kemudian diaransemen ulang oleh OK Adram, yang memadukan unsur-unsur seni tari dan musik dari berbagai wilayah di Indonesia.

Hasil karya tersebut kemudian berkembang menjadi bentuk tari Serampang Dua Belas yang saat ini kita kenal, dan mulai populer di kawasan Kesultanan Deli Serdang Berdagai, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Pada masa awal perkembangannya, hanya pria yang diperbolehkan membawakan tarian ini karena adanya aturan adat yang melarang perempuan untuk tampil di hadapan publik. 

Menyadari keterbatasan ini, Guru Sauti melakukan penyesuaian terhadap bentuk tariannya agar lebih inklusif dan bisa diterima oleh berbagai kalangan etnis dan lapisan masyarakat di Indonesia. 

Sejak itu, tarian ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat karena gerakannya tidak terlalu rumit dan mudah dipelajari.

2. Tari Zapin

Tari Zapin merupakan contoh lain dari bentuk tari berpasangan yang berasal dari Provinsi Riau. Tarian ini memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan sekaligus hiburan bagi masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah zapin merujuk pada bentuk tarian khas dari budaya Melayu yang biasanya diiringi oleh lagu-lagu yang berasal dari kawasan Yaman. 

Sementara itu, dalam referensi berjudul Ensiklopedia Seni dan Budaya Nusantara yang ditulis oleh Gendhis Paradisa, disebutkan bahwa tarian ini dulunya digunakan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam, dengan menyelipkan pesan-pesan religius dalam lirik lagu pengiringnya.

Sebagai bentuk tari yang dibawakan secara berpasangan, tari Zapin biasanya ditampilkan secara berkelompok, diiringi oleh dua alat musik utama, yaitu marwas (sejenis gendang kecil) dan gambus.

Istilah zapin sendiri diambil dari bahasa Arab “zafin” yang memiliki arti gerakan kaki cepat yang mengikuti ritme tabuhan. 

Hal ini menunjukkan bahwa tarian tersebut merupakan hasil perpaduan antara budaya Arab dan tradisi Melayu dari masa lampau.

Dalam informasi resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tari Zapin dijelaskan sebagai tarian berpasangan yang sering dipentaskan dalam acara hiburan rakyat. 

Awalnya, tarian ini berasal dari bangsa Arab dan Yaman, dan pada mulanya hanya ditampilkan di lingkungan istana Kesultanan Yaman di Timur Tengah.

Pada masa kejayaan perdagangan antar benua, sekitar abad ke-16, para pedagang dari Arab membawa bentuk tarian ini ke kawasan sekitar Selat Malaka. 

Setibanya di wilayah ini, tarian tersebut bertransformasi melalui proses penyatuan dengan budaya lokal, sehingga gerakannya mulai disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat Melayu.

Setelah melalui proses percampuran budaya tersebut, setiap gerakan dalam tarian Zapin mulai mengandung makna filosofis yang menggambarkan cara hidup serta pandangan hidup masyarakat Melayu Riau.

Ketika pertama kali dikenalkan, tarian ini hanya boleh ditampilkan oleh kaum pria. Namun, sejak dekade 1960-an hingga saat ini, peraturan tersebut mulai dilonggarkan, sehingga tari Zapin kini umum dibawakan oleh perempuan, bahkan dalam format campuran antara laki-laki dan perempuan.

3. Tari Bedhaya

Tari Bedhaya Ketawang merupakan bentuk seni tari sakral yang berasal dari lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau yang lebih dikenal sebagai Keraton Solo. 

Tarian ini memiliki kedudukan istimewa dan hanya dipentaskan dalam momen-momen tertentu, seperti ketika seorang raja dilantik atau saat memperingati hari kenaikan takhta.

Nama Bedhaya Ketawang terdiri dari dua kata, yaitu bedhaya yang merujuk pada penari wanita di lingkungan keraton, dan ketawang yang memiliki arti langit atau awan yang berada di angkasa. 

Istilah ketawang dalam konteks ini melambangkan sesuatu yang luhur, spiritual, dan menjadi tempat bersemayamnya makhluk suci atau dewa-dewi.

Tari pasangan tradisional ini penuh dengan simbol dan makna mendalam, serta erat kaitannya dengan ritual adat, nilai-nilai spiritual, unsur kisah asmara raja dengan sosok Kanjeng Ratu Kidul, dan nuansa kesucian. 

Cerita yang diangkat dalam tarian Bedhaya Ketawang bersumber dari legenda masyarakat Jawa, khususnya mengenai hubungan cinta antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul.

Dalam pertunjukannya, tarian ini dibawakan oleh kelompok penari perempuan berjumlah antara tujuh hingga sembilan orang, yang semuanya mengenakan kostum senada sesuai dengan tema cerita, dan ditampilkan tanpa dialog atau ucapan. 

Para penari dalam pertunjukan ini melambangkan susunan bintang Kalajengking yang terdiri dari sembilan titik, di mana masing-masing memiliki makna tersendiri.

Kostum yang dikenakan oleh para penari menyerupai busana pengantin Jawa, lengkap dengan dhodot dan samparan. Setiap penari memiliki nama serta makna simbolis yang melekat pada bagian tubuh tertentu, antara lain:

  • Batak: melambangkan jiwa dan pikiran
  • Gulu: menggambarkan tubuh
  • Buncit: simbol dari organ reproduksi
  • Apit mburi: merepresentasikan lengan kiri
  • Apit ngarep: menggambarkan lengan kanan
  • Apit meaning: mewakili tungkai bagian kiri
  • Endhel ajeg: menyimbolkan kehendak atau nafsu
  • Endhel weton: melambangkan tungkai kanan
  • Dhada: mengacu pada bagian dada atau batang tubuh

Tarian ini tidak sekadar dianggap sebagai kesenian tradisional, melainkan pernah memiliki peran sebagai bagian dari kegiatan spiritual masyarakat bangsawan Jawa.

Latar belakang penciptaannya dipengaruhi oleh filosofi Jawa kuno yang bernuansa Siwaistik, dan hal ini tercermin dalam jumlah sembilan penari yang digunakan dalam pementasan. 

Selain itu, simbolisme dalam tarian ini juga memiliki kaitan dengan sembilan perwujudan shakti dalam ajaran agama Hindu.

4. Tari Payung

Tari Payung, atau disebut juga Tari Payuang, merupakan tarian tradisional yang berasal dari masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Tarian ini dimainkan secara berpasangan dan menjadi populer pada dekade 1960-an. 

Sesuai namanya, properti utama dalam tarian ini adalah payung, yang digunakan dalam gerakan-gerakan oleh penari yang tampil secara berpasangan dan dalam jumlah genap.

Jenis tari tradisional ini berfungsi sebagai pertunjukan hiburan dan biasanya ditampilkan sebagai pembuka dalam berbagai kegiatan seperti festival seni, pameran budaya, maupun acara-acara resmi lainnya.

Hingga kini, tidak ditemukan dokumen resmi atau catatan sejarah yang secara pasti menjelaskan asal-usul Tari Payung. 

Namun, dalam perkembangan kebudayaan Minangkabau, tarian ini memiliki hubungan yang erat dengan seni pertunjukan drama, terutama pada masa penjajahan.

Dalam pementasannya, Tari Payung sering disisipkan sebagai bagian dari pertunjukan drama yang mengandung unsur komedi dan juga sebagai elemen transisi antar segmen cerita. 

Tarian ini berfungsi sebagai pelengkap dan penghubung alur naratif dalam pentas drama. Pada awalnya, koreografi Tari Payung tidak memiliki pola atau aturan yang tetap. 

Namun, antara tahun 1904 hingga 1920, seorang tokoh bernama Rasyid Manggis mulai menyusun dan menata bentuk gerakan tarian ini secara lebih terstruktur.

Usaha Rasyid Manggis dalam membentuk koreografi tarian ini kemudian dilanjutkan oleh Siti Agam, yang mengembangkan tari tersebut menjadi seni pertunjukan dengan tema seputar interaksi sosial antara para remaja.

Kisah yang dibawakan dalam Tari Payung biasanya menggambarkan kehidupan muda-mudi kota, dengan latar cerita mereka yang tengah berlibur ke daerah Sungai Tanang di wilayah Bukittinggi. 

Gerakan tarinya menggambarkan interaksi dan hubungan sosial khas masa remaja dalam nuansa budaya Minang.

5. Tari Wireng

Salah satu contoh tarian berpasangan lainnya berasal dari kawasan Jawa Tengah, khususnya dari lingkungan Kasunanan Surakarta atau wilayah Solo. 

Tarian ini dikenal dengan nama Beksan Wireng dan merupakan salah satu jenis tari tradisional yang memiliki akar sejarah kuat, sebagaimana diceritakan dalam pupuh Sinom bait 15 hingga 20 pada naskah budaya Jawa yang terkenal, yakni Serat Centhini.

Nama Beksan Wireng terbentuk dari dua kata, yaitu beksan yang berarti tari, serta wireng, gabungan dari kata wira yang merujuk pada sosok perwira dan aeng yang berarti prajurit unggul. 

Dengan demikian, tarian ini dapat dimaknai sebagai tarian yang menggambarkan keperkasaan dan keunggulan seorang prajurit dalam pertempuran.

Sebagaimana dikisahkan dalam Serat Centhini, tari Wireng merupakan bagian dari kisah enam jenis tarian yang diciptakan pada masa pemerintahan Jenggala Kediri.

Penciptanya adalah Lembu Amiluhur, yang dikenal sebagai raja pertama dari kerajaan Jenggala dan menyandang gelar Jayanegara.

Raja Jayanegara menciptakan tarian ini sebagai sarana untuk melatih dan mengajarkan anak laki-lakinya agar terampil dan cekatan dalam strategi peperangan. 

Putra Jayanegara kemudian menggantikannya sebagai raja dan memperoleh gelar Prabu Suryawisesa.

Lahirnya tari Beksan Wireng juga erat kaitannya dengan berdirinya Kadipaten Mangkunegaran, yang terbentuk setelah terjadinya perpecahan kekuasaan dalam lingkup Kerajaan Mataram. 

Oleh sebab itu, tarian ini tidak hanya memiliki nilai estetika, namun juga memuat nilai historis dan semangat keprajuritan.

6. Tari Karonsih

Tari Karonsih termasuk dalam kategori tarian berpasangan yang mengangkat kisah cinta dan kerinduan yang mendalam dari tokoh Dewi Sekartaji, yang harus menghadapi kenyataan ditinggalkan oleh suaminya, Panji Asmara Bangun.

Nama karonsih berasal dari istilah dalam bahasa Jawa, yaitu kekaron atau sakloron tansah asih, yang memiliki makna sepasang kekasih yang saling mencintai tanpa syarat.

Cerita dalam tarian ini bermula dari kepergian Panji Asmara Bangun meninggalkan istana tanpa pamit, dengan cara menyamar sebagai rakyat biasa.

Tujuannya adalah untuk mengamati kondisi rakyat di wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri sekaligus menguji ketulusan cinta yang dimiliki oleh sang istri. 

Kepergian sang suami yang diam-diam tersebut membuat Dewi Sekartaji diliputi rasa gundah dan kehilangan sosok yang dicintainya. Tarian Karonsih biasanya ditampilkan dalam rangkaian acara pernikahan adat Jawa. 

Setelah prosesi adat bersama keluarga selesai dilakukan, pasangan pengantin bersama kedua orang tua dan pengiring (pager ayu) akan berjalan menuju pelaminan dengan diiringi penari cucuk lampah.

Namun dalam beberapa pertunjukan, penari pria yang memerankan tokoh Panji Asmara Bangun juga ikut tampil sebagai bagian dari barisan cucuk lampah untuk mengiringi pengantin dalam prosesi menuju pelaminan. 

Hal ini membuat tarian tersebut tidak hanya menjadi pelengkap upacara, tetapi juga menghadirkan unsur naratif yang kuat dalam perayaan pernikahan adat.

7. Tari Gambyong

Tari Gambyong merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. Tarian ini umumnya dibawakan sebagai bentuk penyambutan tamu kehormatan atau sekadar sebagai hiburan dalam suatu acara. 

Seiring perkembangannya, tarian ini memiliki berbagai versi, seperti Gambyong Pareanom dan Gambyong Pangkur, meskipun secara umum tetap mempertahankan gerakan dasarnya yang bersumber dari gerakan tledhek atau tayub.

Awalnya, tarian ini dirancang untuk ditampilkan secara tunggal oleh seorang penari. 

Namun dalam perkembangannya, Gambyong kini kerap ditarikan secara berkelompok, bahkan dalam jumlah besar, dengan pengaturan posisi atau blocking di atas panggung agar lebih dinamis dan menarik.

Keberadaan tarian ini sudah tercatat sejak era Pakubuwana IV dan Pakubuwana V, seperti disebutkan dalam Serat Centhini, di mana Gambyong digolongkan sebagai tarian rakyat jenis tledhek. 

Dalam perkembangannya, KRMT Wreksadiningrat, seorang koreografer pada masa Pakubuwana IX, menyusun kembali koreografi Gambyong agar dapat dipertunjukkan di lingkungan keraton, menjadikannya lebih lembut, elegan, dan diterima oleh kalangan bangsawan serta kaum priyayi.

Nyi Bei Mardusari, seorang seniman sekaligus selir dari Sri Mangkunegara, menyampaikan bahwa pada masanya, Gambyong telah sering dipentaskan di depan tamu-tamu penting Keraton Mangkunegaran. 

Perubahan besar terjadi pada tahun 1950 saat Nyi Bei Mintoraras, pelatih tari keraton di era Mangkunegaran VIII, merancang dan meresmikan bentuk koreografi tetap yang kini dikenal sebagai Gambyong Pareanom.

Versi perdana dari Gambyong Pareanom ditampilkan pada momen pernikahan Gusti Nurul, adik perempuan dari Mangkunegara VIII, pada tahun 1951. 

Sejak saat itu, tarian ini mulai populer di masyarakat luas dan mendorong kemunculan variasi-variasi Gambyong lainnya.

8. Tari Remo

Tari Remo merupakan seni tari tradisional yang berasal dari Jawa Timur. Tarian ini dikenal luas sebagai tarian penyambutan tamu, dan dapat dibawakan secara solo maupun dalam kelompok besar.

Asal-usul tarian ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kesenian Ludruk, sebuah pertunjukan rakyat yang berkembang di Jawa Timur. 

Pada masa awal kemunculannya, Remo ditampilkan sebagai pembuka pertunjukan Ludruk, sehingga sering pula disebut sebagai Tari Ludruk oleh masyarakat setempat. Diperkirakan tarian ini mulai dikenal pada sekitar dekade 1920-an. 

Menariknya, di masa awal penyebarannya, tari Remo sempat memiliki fungsi religius. Namun, seiring waktu berjalan, maknanya pun beralih menjadi sarana hiburan dan ekspresi budaya.

Tari Remo biasanya dipentaskan pada malam hari, tepatnya mulai pukul 21.00, dan berlangsung hingga dini hari. 

Penampilannya diiringi dengan lantunan musik gamelan berlaras slendro, serta diiringi oleh gending dan lagu-lagu berbahasa Madura, menambah nuansa khas yang memperkuat identitas lokal dalam setiap pertunjukannya.

Sebagai penutup, contoh tari berpasangan mencerminkan keharmonisan gerak dua penari yang saling melengkapi dalam sebuah pertunjukan seni yang memukau.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index