JAKARTA - Teknologi kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar konsep futuristik, melainkan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Akademisi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Ridwan Andi Kambau, menguraikan bagaimana AI yang awalnya dirancang untuk meniru kecerdasan manusia kini merambah ke berbagai bidang, membawa peluang besar sekaligus tantangan serius yang membutuhkan sikap bijak dalam pengelolaannya.
AI: Dari Anak Kecil yang Belajar hingga Asisten Cerdas
Ridwan memulai pemaparannya dengan analogi menarik: AI ibarat anak kecil yang belajar mengenali dunia melalui pengulangan. “Komputer dilatih dengan data, misalnya 100.000 gambar anjing dan kucing, sehingga mampu mengenali objek dengan akurasi tinggi, bahkan untuk objek yang belum dikenali manusia,” ujarnya. Dengan pendekatan ini, kecerdasan buatan mampu berkembang sangat pesat, bahkan melebihi batasan kemampuan manusia dalam beberapa hal.
Sebagai contoh nyata, Ridwan menyebut ChatGPT, yang berfungsi bukan hanya sebagai mesin tanya jawab, melainkan asisten pribadi yang bisa membantu menghasilkan karya ilmiah berkualitas tinggi hanya dari perintah spesifik. Kemajuan ini menunjukkan betapa AI telah mengubah cara kita bekerja dan belajar.
Tidak hanya di ranah akademis, AI juga merambah ke berbagai sektor lain, mulai dari transportasi dengan mobil tanpa pengemudi, robot medis di rumah sakit canggih, hingga alat rumah tangga pintar yang memudahkan aktivitas harian. Dalam bidang pendidikan, AI memudahkan pencarian referensi dan terjemahan, sementara di e-commerce, algoritma mendorong rekomendasi produk yang tepat sasaran. “AI ada di sekitar kita, dari Google Maps hingga fintech yang menentukan kelayakan kredit berdasarkan data,” jelas Ridwan.
Tantangan Budaya dan Etika AI
Namun, kemajuan pesat AI tidak lepas dari dampak budaya yang perlu disikapi dengan matang. Ridwan mengingatkan tentang fenomena otomatisasi dan algoritmisasi pengambilan keputusan, di mana data menjadi faktor utama dalam menentukan langkah bisnis maupun sosial. “Sayangnya, Indonesia baru-baru ini menjadikan data kita sebagai barter dalam negosiasi dengan Amerika, padahal data adalah aset strategis,” kritiknya.
Data pribadi yang dikuasai pihak asing dapat dimanfaatkan untuk memetakan profil pengguna secara mendalam, mulai dari hobi hingga kebiasaan belanja. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan kedaulatan data. Selain itu, fenomena filter bubble yang dihasilkan algoritma AI menyebabkan pengguna cenderung mendapatkan informasi yang sesuai preferensi mereka, sehingga mengikis objektivitas dan menimbulkan polarisasi.
Masalah lain yang juga disinggung adalah risiko bias dan hallucination dalam AI, di mana informasi yang dihasilkan terkadang keliru atau bahkan fiktif. “Verifikasi dengan ilmu pengetahuan kita tetap penting,” tegas Ridwan, menegaskan perlunya kehati-hatian dalam menggunakan teknologi ini.
Lebih jauh, ia menyoroti ketergantungan manusia pada AI yang dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis. Contohnya mahasiswa yang menggunakan AI untuk menjawab ujian atau dosen yang menyusun materi hanya dengan bantuan AI dalam waktu singkat. Meskipun AI mempercepat pekerjaan, tanpa proses verifikasi, kemampuan nalar manusia bisa tergerus.
Disrupsi sosial akibat otomatisasi juga menjadi perhatian, dengan prediksi hilangnya jutaan pekerjaan sekaligus munculnya lapangan kerja baru yang menuntut keterampilan AI.
Mengedepankan Etika dan Literasi Digital
Dalam konteks etika, Ridwan menyoroti kasus diskriminasi yang timbul akibat data pelatihan AI yang tidak berimbang, seperti sistem perekrutan yang memfavoritkan kandidat berdasarkan warna kulit. Ia juga mengingatkan risiko privasi dan efek negatif ketergantungan berlebihan pada AI yang dapat merusak daya pikir dan kesehatan mental.
Sebagai solusi, Ridwan mendorong pengembangan explainable AI (XAI), yakni model AI yang transparan mengenai data sumber dan tujuan penggunaannya. “AI tidak dapat dihindari, namun manusia harus beradaptasi dengan bijak tanpa kehilangan jati diri,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya membangun literasi budaya digital yang kuat, menguatkan nilai-nilai lokal, serta menjadikan AI sebagai alat bantu (copilot) yang mendampingi manusia, bukan menggantikan. Konsep AI-free zone juga diusulkan untuk menjaga keseimbangan antara teknologi dan nalar manusia.
Sebagai kesimpulan, Ridwan mengingatkan bahwa AI bukan hanya alat, tetapi juga mengubah cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan. “Manusia harus tetap menjadi subjek, bukan objek yang digerakkan algoritma. Dengan literasi digital, etika, dan penalaran kritis, kita bisa mengarahkan AI untuk kemanusiaan dan nilai-nilai luhur,” tutupnya.
Dengan pandangan yang komprehensif ini, Ridwan Andi Kambau mengajak kita menyikapi AI tidak hanya sebagai kemajuan teknologi, tetapi juga tanggung jawab budaya dan moral yang harus dibangun bersama.