JAKARTA - Di tengah laju urbanisasi yang semakin cepat, masyarakat perkotaan menghadapi tantangan besar: bekerja di kota, tetapi tinggal di pinggiran dengan akses transportasi terbatas. Bukan hanya menambah beban biaya dan waktu tempuh, kondisi ini juga mempersempit peluang untuk mendapatkan pekerjaan formal. Situasi tersebut mempertegas pentingnya peran transportasi umum sebagai jembatan utama antara tempat tinggal dan pusat ekonomi.
Transportasi Umum Sebagai Penyelamat Akses Pekerjaan
Data BPS Agustus 2024 menunjukkan jumlah penduduk bekerja meningkat 3,42% dari tahun sebelumnya, namun 57,95% di antaranya bekerja di sektor informal. Fenomena ini berkaitan erat dengan kesulitan akses pekerjaan formal yang sebagian besar berada di kota besar, sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah cenderung tinggal di daerah pinggiran karena harga hunian yang lebih terjangkau.
Urbanisasi yang tidak diimbangi infrastruktur transportasi publik menekan daya beli. Survei Dewan Transportasi Kota Jakarta pada 2021 mencatat biaya transportasi komuter Jabodetabek mencapai 22,64% dari pendapatan bulanan, jauh di atas batas ideal 10% menurut standar internasional. Tanpa transportasi umum yang memadai, pekerja pun lebih rentan bertahan pada pekerjaan informal di sekitar tempat tinggal mereka.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Minimnya Transportasi Umum
Transportasi umum yang buruk tidak hanya memperburuk kemacetan, tetapi juga menurunkan efisiensi ekonomi dan kualitas hidup. Pertumbuhan kendaraan pribadi terus menekan kapasitas jalan, menurunkan efisiensi bahan bakar, dan meningkatkan polusi.
Minimnya transportasi publik juga berpengaruh pada kesempatan kerja perempuan. Data BPS 2022–2024 menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan hanya 53–56%, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 83–84%. Perjalanan yang jauh dan melelahkan membuat banyak perempuan memilih berhenti bekerja karena sulit menyeimbangkan urusan rumah tangga dan pekerjaan.
Transportasi umum yang efisien dan terjangkau bisa menjadi solusi, membuka akses pekerjaan formal dengan pendapatan lebih tinggi, sekaligus meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Peran Pemerintah dalam Mewujudkan Akses Transportasi Berkelanjutan
Penyediaan transportasi umum metropolitan adalah mandat nyata pemerintah, sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, keterbatasan anggaran membuat banyak daerah belum serius mengembangkan transportasi publik antarkota di wilayah aglomerasi.
Beberapa kota sudah mulai bergerak. Semarang, misalnya, mengalokasikan 5% APBD untuk transportasi umum. Sayangnya, sebagian besar daerah lain baru menganggarkan rata-rata 1,02%. Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023, setidaknya 10% dari Pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan opsen PKB wajib dialokasikan untuk transportasi, yang seharusnya menjadi prioritas untuk pembangunan angkutan umum, bukan hanya perbaikan jalan.
Keberadaan transportasi umum yang memadai dapat memutus lingkaran masalah urbanisasi: menurunkan beban biaya transportasi, membuka peluang pekerjaan formal, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Urbanisasi yang pesat menuntut pemerintah untuk tidak sekadar menambah infrastruktur jalan, tetapi memastikan ketersediaan transportasi umum yang efisien, aman, dan terjangkau. Transportasi publik bukan hanya soal mobilitas, tetapi juga instrumen penting untuk mengatasi ketimpangan sosial, memperluas akses pekerjaan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Kehadiran transportasi umum yang berkelanjutan adalah kunci agar masyarakat urban bisa bekerja lebih produktif tanpa terbebani biaya dan jarak.