Memahami apa itu people pleaser menjadi semakin penting seiring dengan berkembangnya istilah-istilah baru dalam psikologi modern.
Salah satu istilah yang kini sering digunakan adalah people pleaser, yang menggambarkan perilaku seseorang yang cenderung mengutamakan kebahagiaan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.
Individu dengan kecenderungan ini cenderung terus berusaha membuat orang lain senang, meskipun itu berarti mengabaikan kebutuhan dan perasaannya sendiri.
Meskipun sepintas terlihat tidak bermasalah, kecenderungan ini dapat menimbulkan pengaruh besar terhadap kondisi mental seseorang, terutama jika dibiarkan terus berlangsung hingga dewasa.
Pada kenyataannya, pola perilaku seperti ini bisa berakar dari faktor keturunan. Jika orang tua memiliki kecenderungan yang sama, besar kemungkinan anak mereka pun akan mengikuti pola serupa melalui cara mereka dibesarkan.
Lalu, sebenarnya bagaimana cara memahami lebih dalam mengenai perilaku ini? Apa saja konsekuensi psikologis yang mungkin timbul pada orang yang terus-menerus mencoba memuaskan harapan orang lain hingga dewasa?
Dan yang tak kalah penting, bagaimana cara mengubah kebiasaan tersebut agar tidak merugikan diri sendiri?
Semua pertanyaan ini akan dibahas secara mendalam dalam penjelasan berikutnya agar kamu dapat lebih memahami dan mulai mengenali apa itu people pleaser.
Apa Itu People Pleaser?
Pada dasarnya, membuat orang lain merasa bahagia memang merupakan sikap yang patut dihargai. Namun, penting untuk meninjau kembali apakah usaha tersebut dilakukan secara tulus atau justru mengorbankan perasaan dan kebutuhan diri sendiri.
Apa itu people pleaser? Istilah ini menurut Kamus Cambridge menggambarkan kecenderungan seseorang yang terlalu peduli terhadap pandangan orang lain terhadap dirinya.
Akibatnya, orang dengan pola seperti ini sangat bergantung pada pengakuan dari lingkungan sekitarnya atas apa pun yang ia lakukan. Tak hanya itu, mereka juga kerap mengesampingkan kebahagiaan pribadi demi memenuhi ekspektasi orang lain.
Ungkapan seperti “yang penting dia senang, aku belakangan” menjadi cerminan yang pas untuk menggambarkan pola pikir tersebut.
Ciri umum lainnya adalah kesulitan dalam mengatakan “tidak” ketika diminta bantuan. Contohnya seperti yang dialami Meta.
Setelah seharian kuliah dan merasa lelah, ia seharusnya bisa menolak permintaan Joss yang menyuruhnya membeli siomay. Namun karena ingin menyenangkan rekannya, ia tetap menuruti permintaan tersebut meskipun tubuhnya butuh istirahat.
Mengacu pada pendapat Merriam Webster dan Susan Newman yang dikutip dari student-activity.binus.ac.id, seorang people pleaser biasanya melakukan berbagai hal untuk menyenangkan orang lain, bahkan jika itu bertentangan dengan dirinya sendiri.
Tindakan tersebut dilakukan karena mereka tidak ingin membuat orang lain kecewa. Fenomena ini ternyata cukup umum di Indonesia.
Dalam sebuah survei terhadap 102 orang, ditemukan bahwa sebanyak 77,5% responden merasa takut dibenci karena menolak permintaan orang lain, walaupun kondisi mereka sebenarnya tidak memungkinkan untuk memenuhi permintaan itu.
Kesimpulannya, kebiasaan ini menunjukkan bahwa seseorang terlalu berfokus pada penilaian orang lain terhadap dirinya dan sangat bergantung pada penerimaan sosial.
Karena itu, mereka cenderung mengabaikan kebutuhan pribadi demi menyenangkan orang lain dan sulit berkata “tidak” meski dalam situasi yang tidak mendukung.
Ciri Utama Seorang People Pleaser
Sebenarnya, ada cukup banyak tanda yang menggambarkan seseorang yang selalu berusaha menyenangkan orang lain. Namun, berikut ini adalah beberapa ciri utama yang menonjol pada individu dengan kecenderungan tersebut.
Tidak Mampu Menolak Permintaan Orang Lain
Salah satu karakteristik utamanya adalah ketidakmampuan untuk menolak permintaan dari orang lain. Hal ini cukup sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di Indonesia.
Sebagai contoh, ketika seseorang sedang sibuk mengerjakan tumpukan tugas sekolah, lalu temannya datang meminta jawaban tugas.
Karena merasa tidak enak hati dan tak sanggup menolak, akhirnya ia pun memenuhi permintaan tersebut dan memberikan jawaban, padahal sebenarnya ingin menolak.
Merasa Wajib Mengendalikan Perasaan Orang di Sekitarnya
Jika kamu termasuk orang yang suka menyenangkan orang lain, penting untuk menyadari bahwa emosi orang lain bukanlah tanggung jawabmu sepenuhnya.
Kecuali jika seseorang kecewa karena kamu membatalkan janji yang sudah disepakati jauh-jauh hari, itu adalah hal yang berbeda.
Namun pada umumnya, orang dengan kecenderungan ini merasa harus terus menjaga perasaan orang lain agar mereka bahagia, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan kenyamanan dirinya sendiri.
Sering Meminta Maaf dan Menganggap Semua Hal adalah Kesalahannya
Meminta maaf ketika melakukan kesalahan adalah hal yang wajar dan terpuji. Namun jika terlalu sering menyalahkan diri sendiri bahkan untuk hal-hal yang bukan tanggung jawabnya, itu menjadi ciri khas lainnya.
Sebagai contoh, ketika presentasi kelompok tidak berjalan lancar akibat minimnya persiapan dari seluruh anggota, ia tetap merasa bahwa semua kegagalan itu adalah kesalahannya.
Padahal kenyataannya, penyebab utama bukan hanya berasal darinya saja.
Penyebab Munculnya Kebiasaan People Pleasing
Pengaruh Didikan di Lingkungan Keluarga
Meskipun terdengar menyedihkan, kecenderungan untuk menyenangkan orang lain sering kali berakar dari cara mendidik anak di rumah.
Seperti dijelaskan oleh Lencer (2018), banyak anak merasa perlu menuruti keinginan orang tua demi mendapatkan perhatian dan cinta. Padahal, rasa kasih sayang dari orang tua seharusnya diberikan tanpa perlu syarat atau tuntutan.
Rasa takut untuk tidak taat ini muncul karena anak tidak diberi ruang untuk menyampaikan pikiran atau pendapat.
Jika mengingat kembali masa kecil, banyak dari kita mungkin pernah mengalami pembatasan dalam mengutarakan opini oleh orang tua, dengan dalih bahwa anak-anak masih belum cukup dewasa untuk didengarkan.
Dari pilihan berpakaian, gaya rambut, sampai keputusan pendidikan pun, sering kali sudah ditentukan oleh orang tua.
Anak-anak yang tak setuju pun enggan menyuarakan pendapat karena takut dimarahi, takut kehilangan kasih sayang, atau bahkan takut dianggap sebagai anak yang tidak menghormati orang tua.
Meski terlihat sepele, ucapan yang menyakitkan dari orang tua ternyata dapat membekas dalam ingatan anak hingga dewasa.
Untungnya, kini makin banyak orang tua generasi muda yang mulai menerapkan pendekatan berbeda, dengan membiarkan anak berekspresi dan mengalami hal baru.
Bukan berarti membebaskan sepenuhnya tanpa batas, melainkan memberi ruang aman bagi anak untuk menyampaikan pendapat.
Orang tua bisa mulai dengan menanyakan minat anak, selera pakaian, atau jurusan yang menjadi impiannya sejak kecil.
Apabila ada hal yang tidak sesuai nilai keluarga, arahkan anak dengan penjelasan perlahan tanpa amarah ataupun label negatif yang menyakitkan.
Harapan Berlebihan dari Orang Tua
Ekspektasi tinggi dari orang tua terhadap masa depan anak kerap menimbulkan tekanan besar.
Ketika harapan tersebut hanya menitikberatkan pada hasil, anak cenderung berpikir bahwa ia hanya layak dicintai jika mampu memenuhi standar tersebut.
Akibatnya, ia merasa perlu selalu memuaskan orang lain agar mendapat pengakuan. Anak kemudian terbiasa merasa bersalah atas kesalahan kecil, bahkan minta maaf untuk sesuatu yang bukan tanggung jawabnya.
Ia juga akan merasa tidak enak untuk menolak permintaan orang lain karena takut dianggap buruk.
Ketidakkonsistenan dalam Memberi Sanksi
Dalam membesarkan anak, memberi konsekuensi atau penghargaan memang bagian dari pembelajaran. Hukuman diberikan saat anak melanggar aturan, tetapi harus dilakukan secara adil dan tidak berlebihan.
Sayangnya, sebagian orang tua memberikan hukuman yang tidak seimbang dan cenderung berubah-ubah. Akibatnya, anak tumbuh dengan rasa waswas berlebihan dan selalu ingin bertindak sesuai harapan agar terhindar dari teguran.
Dampak Menjadi People Pleaser Seiring Berjalannya Waktu
Kebiasaan untuk selalu menyenangkan orang lain yang telah terbentuk sejak masa kanak-kanak ternyata memberikan dampak besar terhadap kondisi mental seseorang ketika tumbuh dewasa.
Terlebih saat sudah memasuki dunia profesional, kecenderungan ini bisa dimanfaatkan oleh pihak yang berniat buruk, karena ia tidak memiliki keberanian maupun kemampuan untuk menolak permintaan orang lain.
Di bawah ini adalah beberapa akibat yang mungkin muncul dari perilaku tersebut.
Merosotnya Kepercayaan Diri
Dampak pertama yang umumnya dirasakan oleh individu dengan kecenderungan ini ketika dewasa adalah menurunnya rasa percaya diri.
Ia kerap merasa tidak layak untuk mendapatkan kasih sayang jika tidak mampu memperlakukan orang lain dengan cara yang menyenangkan.
Dengan kata lain, harga dirinya menjadi bergantung pada seberapa besar penerimaan dan kesukaan orang lain terhadap dirinya.
Tidak Mampu Menempatkan Diri Sebagai Prioritas
Menolong sesama memang merupakan sikap terpuji yang seharusnya dimiliki setiap orang. Namun, sangat penting juga untuk memastikan bahwa kebutuhan diri sendiri telah dipenuhi sebelum mengulurkan bantuan kepada pihak lain.
Sayangnya, seseorang yang terlalu mengedepankan kepentingan orang lain akan mengorbankan waktunya bahkan perasaannya sendiri demi memenuhi permintaan tersebut. Hal ini terjadi karena ia merasa tidak sanggup mengatakan "tidak."
Selalu Merasa Tertekan dalam Kehidupan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, individu seperti ini merasa kesulitan menolak permintaan karena takut kehilangan penerimaan dari orang lain.
Dampaknya, ia akan terus merasa kehidupannya penuh tekanan, seolah-olah ia memikul beban yang tak ada habisnya.
Kehilangan Suara dalam Mengutarakan Pendapat
Dalam banyak kasus, orang yang memiliki kebiasaan ini akan merasa ketakutan jika harus berhadapan atau berbeda pandangan dengan orang lain.
Ia lebih memilih untuk mengikuti apa yang diinginkan orang di sekitarnya, karena takut menyakiti perasaan mereka.
Menurutnya, mengalah dan mengikuti kehendak orang lain lebih baik dibandingkan harus terlibat konflik akibat menyampaikan pandangan pribadi.
Merasa Bertanggung Jawab atas Kesalahan Orang Lain
Seseorang dengan pola perilaku ini biasanya terlalu sering meminta maaf, bahkan ketika hal yang terjadi berada di luar kendalinya. Ia cenderung merasa bertanggung jawab atas kesalahan yang sejatinya bukan tanggung jawabnya.
Hal ini dianggap sebagai cara paling cepat untuk menghindari perdebatan, meskipun harus menerima konsekuensi atas sesuatu yang bukan kesalahannya.
Terjebak dalam Hubungan yang Tidak Sehat
Ketika seseorang memiliki kepercayaan diri yang rendah, ia akan lebih mudah menerima hinaan, ejekan, bahkan tuduhan dari orang lain tanpa melakukan penolakan.
Situasi semacam ini sangat berisiko membuatnya terjerat dalam relasi yang penuh dengan kekerasan emosional.
Karena merasa dirinya tidak layak, ia cenderung menerima perlakuan buruk dari pasangannya dan meyakini bahwa semua masalah yang timbul adalah kesalahannya, bukan orang lain.
Cara Berhenti Menjadi Seorang People Pleaser
Berdasarkan pendapat Braiker, ternyata kecenderungan untuk selalu menyenangkan orang lain masih bisa dihentikan, meskipun memerlukan proses yang dilakukan secara perlahan.
- Selalu berpikir secara matang sebelum menjawab permintaan dari seseorang.
- Sekali mengatakan jawaban “tidak” pada permintaan orang lain, ulangi kembali supaya diri kita tidak ‘luluh’ untuk menerima permintaan yang menyulitkan diri sendiri tersebut.
- Lakukan sandwich technique, yakni dengan menolak permintaan dengan mengatakan pernyataan positif, kemudian pernyataan negatif, dan disusul dengan pernyataan positif lagi.
- Lakukan reverse sandwich technique, yakni dengan menolak permintaan dengan pernyataan negatif, kemudian pernyataan positif, dan diakhiri dengan pernyataan negatif lagi.
- Minimalisir meminta maaf setelah mengatakan “tidak” atas permintaan orang lain.
- Tidak memaksakan diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang sekiranya menyulitkan.
- Lakukan minimal 2 aktivitas yang kamu sukai dalam setiap harinya.
- Berikan approval alias persetujuan pada diri sendiri setiap harinya.
- Belajar membagi tugas dengan orang lain, sehingga tidak semua tugas kita kerjakan sendiri.
- Jangan sering melakukan semua tugas seorang diri hanya karena ingin hasilnya sempurna saja.
- Tuliskan 10 hal tentang siapa diri kita, tanpa menggunakan kata “baik”. Mintalah pula pada keluarga atau teman untuk melakukan hal itu juga.
- Lakukan pernafasan lambat supaya tubuh lebih rileks.
- Lihatkan berbagai masalah dari sudut pandang berlebihan, kemudian dari sudut pandang yang rasional.
- Lakukan time out untuk meredakan emosi sebelum mendiskusikan suatu masalah.
- Tangani konflik apapun tanpa kata-kata berlebihan. Jangan pula menyerang ranah personal, tanpa menuduh, dan lakukan secara empati.
- Gunakan teknik gardol shield yakni dengan mengubah persepsi bahwa perkataan orang lain itu tidak bisa menyakiti diri kita.
- Lakukan pula teknik coach on your shoulder, yakni dengan berpikir dari sudut pandang orang ketiga akan masalah tersebut.
Sebagai penutup, memahami apa itu people pleaser bisa membantumu lebih mengenal diri sendiri dan mulai belajar menetapkan batas agar hidup terasa lebih seimbang dan sehat.