JAKARTA - Transformasi digital di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membawa dampak signifikan pada struktur organisasi dan sumber daya manusia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa jumlah pegawai Kemenkeu kini berkurang hampir seribu orang, sebagai konsekuensi dari strategi efisiensi melalui kebijakan negative growth.
Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta pada Selasa, 22 Juli 2025. Ia menjelaskan bahwa meski pegawai berkurang, volume pekerjaan dan tanggung jawab kementerian justru terus meningkat.
“Jumlah sumber daya manusia (SDM) Kemenkeu turun hampir mendekati 1.000 orang, meskipun tugasnya dan volume APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) justru naik,” ujarnya di hadapan anggota dewan.
Menurutnya, pengurangan tersebut setara dengan 979 pegawai atau sekitar 1,26 persen dari total sebelumnya. Kebijakan ini tidak dilakukan secara tiba-tiba, melainkan diiringi oleh berbagai langkah strategis dalam digitalisasi layanan dan manajemen internal.
Teknologi Gantikan Peran Tradisional
Untuk memastikan produktivitas tetap terjaga, Kemenkeu mengandalkan sejumlah sistem digital dalam aktivitas sehari-hari. Sri Mulyani menyebutkan, kementeriannya telah mengembangkan berbagai aplikasi yang menyentuh operasional internal, mulai dari sistem perjalanan dinas, pengelolaan SDM, hingga layanan hukum berbasis digital.
“Kami memang melakukan efisiensi pegawai, namun seiring itu juga kami memperkuat berbagai aplikasi dan sistem digital dalam menunjang kinerja,” jelas Sri Mulyani.
Beberapa inovasi digital yang dikembangkan di antaranya adalah Sistem Elektronik Perjalanan Dinas (e-Perjadin), digitalisasi produk hukum, serta platform Sandbox untuk uji coba sistem baru. Seluruh sistem ini mendukung operasional harian dan pengambilan kebijakan berbasis data.
Tak hanya berfokus pada internal, Kemenkeu juga tetap menjalankan berbagai program strategis yang berdampak luas. Sri Mulyani mencontohkan, Kemenkeu memfasilitasi lebih dari 2,2 juta pelaku usaha mikro melalui skema Pembiayaan Ultra Mikro (UMi). Selain itu, kementerian juga mendukung sektor pendidikan dengan memberikan 2.020 beasiswa bagi calon dokter spesialis.
Empat Pilar Program Strategis
Dalam paparannya, Sri Mulyani menyebut terdapat empat program utama yang menopang kinerja Kemenkeu selama satu tahun terakhir. Program-program tersebut tidak hanya mempertahankan stabilitas fiskal, namun juga berkontribusi langsung pada pertumbuhan penerimaan negara dan pengendalian risiko keuangan.
Pertama, kebijakan fiskal yang mencakup perumusan UU APBN 2025, reformasi sektor keuangan, serta pelaksanaan International Tax Forum (ITF). Program ini bertujuan menjaga keseimbangan antara belanja negara dan kemampuan penerimaan fiskal dalam jangka panjang.
Kedua, pengelolaan pendapatan negara. Ini mencakup layanan National Logistic Ecosystem (NLE) yang telah diterapkan di 53 pelabuhan dan tujuh bandara, serta kerja sama joint program penerimaan yang menghasilkan realisasi sebesar Rp 2,62 triliun. Selain itu, implementasi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) turut mendorong peningkatan rasio perpajakan nasional hingga 12,7 persen.
Ketiga, pengelolaan belanja negara. Kemenkeu memberikan pendampingan terhadap 2.014 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan BUMDes Bersama (BUMDesma). Pemerintah juga mengoptimalkan penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk mempercepat pembangunan wilayah tertentu yang membutuhkan intervensi.
Keempat, pengelolaan perbendaharaan, kekayaan negara, dan risiko. Salah satu fokus penting dalam program ini adalah penyelesaian dan pemulihan hak tagih dari 1.035 aset eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
“Program-program tersebut menjadi bukti bahwa meski dengan SDM yang berkurang, kami tetap bisa mencapai kinerja yang solid melalui sistem kerja yang efisien dan terintegrasi,” kata Sri Mulyani.
Surplus Fiskal dan Kinerja Positif
Sri Mulyani juga menyoroti capaian fiskal positif sepanjang tahun lalu. Ia mengungkapkan bahwa pendapatan operasional Kemenkeu mengalami kenaikan sebesar 2,87 persen, mencapai Rp 2.162,5 triliun. Dengan kenaikan itu, negara mencatatkan surplus sebesar 1,87 persen, yang menurutnya menjadi sinyal baik dalam menjaga keberlanjutan fiskal.
Capaian ini tidak lepas dari transformasi birokrasi yang dijalankan secara bertahap, mulai dari perampingan organisasi, peningkatan kapasitas teknologi, hingga pelibatan data untuk mendukung akurasi kebijakan.
Langkah efisiensi yang dilakukan oleh Kemenkeu sekaligus menjadi refleksi bahwa birokrasi modern tidak harus ditandai oleh jumlah pegawai yang besar, melainkan ditentukan oleh kualitas sistem kerja dan kemampuan adaptif terhadap perubahan zaman.