Pengertian epilepsi adalah kondisi medis dengan kejang pada bagian tubuh tertentu akibat gangguan pada sistem saraf otak.
Penderita kondisi ini umumnya tidak menyadari tindakan yang mereka lakukan saat serangan berlangsung.
Gangguan ini berkaitan erat dengan masalah pada sistem saraf pusat yang menyebabkan penderitanya mengalami kejang mendadak, bahkan dalam kondisi tertentu bisa sampai kehilangan kesadaran.
Secara medis, seseorang belum dapat dikategorikan menderita epilepsi apabila belum mengalami setidaknya dua kali kejang dalam kurun waktu 24 jam tanpa penyebab yang jelas.
Namun, pada sebagian kasus, serangan kejang bisa terjadi secara berulang baik dalam waktu yang berdekatan maupun dalam jeda waktu yang berbeda.
Dalam beberapa situasi, kondisi ini bahkan bisa muncul saat seseorang sedang tidur. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya transisi antara kondisi terjaga dan tertidur yang memicu gangguan aktivitas listrik di otak.
Pengertian epilepsi sering juga dikaitkan dengan istilah awam “penyakit ayan”, dan penting bagi siapa pun untuk memahami kondisi ini secara menyeluruh guna mengenali gejala serta penanganan yang tepat sejak dini.
Pengertian Epilepsi
Pengertian epilepsi merujuk pada kumpulan gangguan neurologis kronis yang ditandai oleh kemunculan kejang yang berulang.
Kejang tersebut bisa berlangsung singkat dan hampir tidak terlihat, hingga berbentuk tremor yang hebat dan berlangsung lebih lama. Umumnya, kejang pada kondisi ini muncul berulang tanpa penyebab spesifik yang dapat diidentifikasi.
Sementara itu, kejang yang disebabkan oleh faktor tertentu tidak dianggap sebagai bagian dari kondisi ini. Dalam bahasa sehari-hari, istilah “ayan” sering digunakan untuk menggambarkan epilepsi.
Pada sebagian besar kasus, penyebab pasti dari kondisi ini belum diketahui. Namun, beberapa individu dapat mengalami epilepsi akibat cedera otak, stroke, tumor, atau penggunaan zat tertentu seperti alkohol dan narkotika.
Kejang muncul karena adanya aktivitas berlebihan dan tidak normal pada sel-sel saraf di bagian otak yang disebut korteks.
Untuk menegakkan diagnosis, biasanya dilakukan proses eliminasi terhadap penyakit lain yang gejalanya serupa, seperti pingsan, dan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan penyebab spesifik.
Pemeriksaan EEG (elektroensefalografi) sering digunakan untuk memastikan diagnosis. Meski belum ditemukan pengobatan yang benar-benar menyembuhkan epilepsi, sekitar 70 persen kasus dapat dikendalikan dengan pemberian obat antikejang.
Pada kasus yang tidak merespons obat, pilihan lain seperti operasi, stimulasi saraf, atau pengaturan pola makan tertentu bisa dipertimbangkan.
Tidak semua penderita harus menjalani terapi seumur hidup; banyak yang mengalami perbaikan kondisi hingga pada akhirnya tidak lagi memerlukan pengobatan.
Sama seperti penyakit menular lain yang memerlukan pengobatan tuntas meski gejalanya hilang, epilepsi pun harus ditangani secara menyeluruh. Pengobatan biasanya dihentikan setahun setelah serangan terakhir.
Diperkirakan sekitar 65 juta orang di dunia—atau sekitar 1 persen populasi global—mengidap epilepsi, dengan sekitar 80 persen kasus terjadi di negara-negara berkembang. Frekuensi kasus meningkat seiring pertambahan usia.
Di negara maju, epilepsi paling sering muncul pada anak-anak dan lansia, sementara di negara berkembang umumnya menyerang remaja dan dewasa muda, karena tingginya faktor risiko yang memicu kondisi ini.
Sekitar 5 hingga 10 persen orang mengalami kejang tak berdasar sebelum usia 80 tahun, dengan kemungkinan 40–50 persen mengalami kekambuhan.
Di banyak negara, penderita epilepsi tidak diizinkan mengendarai kendaraan selama masih berisiko mengalami kejang. Namun, jika seseorang sudah bebas kejang selama periode tertentu, mereka umumnya diperbolehkan kembali mengemudi.
Gejala Epilepsi
Kondisi ini ditandai dengan kecenderungan mengalami kejang secara berulang dalam jangka panjang.
Bentuk kejang yang dialami bisa sangat bervariasi, tergantung pada bagian otak yang terpengaruh dan juga usia penderitanya. Berikut adalah beberapa tanda umum yang perlu diketahui:
1. Kejang
Tipe kejang yang paling sering ditemukan (sekitar 60 persen kasus) adalah kejang disertai getaran tubuh.
Dari jumlah tersebut, dua per tiga dimulai dari satu titik tertentu di otak (kejang parsial) yang kemudian dapat berkembang menjadi kejang menyeluruh, sementara sepertiga lainnya langsung berupa kejang umum sejak awal.
Sisanya, yakni 40 persen, termasuk dalam kelompok kejang non-kejang otot. Salah satu contohnya adalah kondisi yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sesaat, biasanya berlangsung sekitar 10 detik.
Pada sebagian penderita, kejang lokal (fokal) diawali dengan pengalaman yang dikenal sebagai aura.
Gejala aura dapat berupa gangguan sensorik seperti perubahan penglihatan, pendengaran, penciuman, gangguan psikologis, gerakan otot yang tidak biasa, atau reaksi sistem otonom.
Kejang juga bisa dimulai di satu bagian otot dan secara bertahap menyebar ke bagian lain, yang disebut dengan kejang tipe Jacksonian.
Gerakan tanpa sadar atau otomatis juga bisa muncul, misalnya gerakan berulang seperti menjilat bibir atau tindakan kompleks seperti mencoba meraih sesuatu tanpa sadar.
Sekitar enam persen orang yang mengalami kondisi ini menunjukkan kejang yang dipicu oleh rangsangan tertentu, dan ini dikenal sebagai kejang refleks.
Pada kasus seperti ini, kejang hanya muncul ketika tubuh merespons pemicu spesifik, seperti kilatan cahaya atau suara mendadak.
Ada juga tipe kejang yang lebih sering terjadi saat seseorang sedang tidur, dan beberapa lainnya bahkan hanya muncul selama tidur malam.
2. Fase Setelah Kejang (Postiktal)
Setelah mengalami kejang aktif, penderita umumnya akan memasuki fase kebingungan sebelum akhirnya kembali ke kondisi sadar sepenuhnya.
Fase ini biasanya berlangsung antara 3 hingga 15 menit, namun pada beberapa kasus bisa memakan waktu hingga beberapa jam.
Beberapa gejala yang sering muncul dalam fase ini antara lain rasa sangat lelah, nyeri kepala, gangguan berbicara, serta perilaku yang tidak biasa.
Dalam sejumlah kasus, kondisi psikosis pascakejang juga dapat muncul dan memengaruhi sekitar 6 hingga 10 persen penderita. Banyak orang tidak mengingat apa yang terjadi selama periode ini.
Selain itu, kelemahan sementara pada satu bagian tubuh juga bisa dialami, sebuah kondisi yang dikenal sebagai kelumpuhan Todd.
Kondisi ini biasanya berlangsung hanya beberapa detik atau menit, namun dalam kasus yang jarang terjadi dapat berlanjut hingga satu atau dua hari.
3. Dampak Psikologis dan Sosial
Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga berdampak besar terhadap aspek psikologis dan hubungan sosial penderitanya.
Dampaknya bisa berupa perasaan terasing dari lingkungan sekitar, munculnya pandangan negatif dari masyarakat, hingga anggapan sebagai individu yang tidak mampu.
Hal-hal ini bisa berpengaruh terhadap prestasi akademik serta mempersempit peluang kerja yang tersedia. Gangguan belajar juga sering ditemukan, terutama pada anak-anak yang mengalami kondisi ini sejak dini.
Tekanan sosial yang dirasakan oleh keluarga penderita pun bisa sangat berat, terutama akibat stigma yang masih melekat.
Beberapa gangguan mental juga cenderung lebih sering dialami oleh orang dengan kondisi ini, tergantung dari gejala yang muncul.
Beberapa di antaranya meliputi gangguan suasana hati seperti depresi, rasa cemas yang berlebihan, serta sakit kepala jenis migrain.
Anak-anak dengan kondisi ini bahkan memiliki kemungkinan tiga hingga lima kali lebih tinggi untuk juga mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) dibanding anak-anak pada umumnya.
Kombinasi antara ADHD dan epilepsi dapat memengaruhi perilaku, proses belajar, serta perkembangan interaksi sosial. Selain itu, kondisi ini juga lebih sering ditemukan pada individu dengan spektrum autisme.
Masalah ini dipicu oleh aktivitas listrik yang tidak wajar di dalam otak, dan karena otak mengontrol hampir seluruh fungsi tubuh, maka gejala yang muncul pun sangat beragam.
Umumnya, tanda-tanda ini timbul secara mendadak dan berlangsung dalam waktu singkat. Beberapa tanda yang sering terlihat meliputi:
- Rasa bingung mendadak
- Pandangan kosong yang menetap pada satu titik dalam waktu lama
- Gerakan tiba-tiba dan tak terkendali di tangan atau kaki
- Hilangnya kesadaran, baik sebagian maupun sepenuhnya
- Gejala yang berhubungan dengan kondisi kejiwaan
- Otot yang menegang secara tiba-tiba
- Getaran atau kejang, baik pada wajah, tangan, kaki, maupun seluruh tubuh
- Tubuh yang menjadi kaku disertai hilangnya kesadaran, yang bisa menyebabkan penderita jatuh tanpa bisa menghindar
Setiap gejala ini bisa muncul secara berbeda-beda pada setiap individu, tergantung dari bagian otak yang terpengaruh dan tingkat keparahannya.
Jenis-jenis Epilepsi
Kejang yang terjadi secara berulang merupakan tanda utama dari gangguan ini. Tingkat keparahan kejang dapat berbeda-beda, bergantung pada bagian otak yang pertama kali terdampak serta seberapa luas penyebaran gangguan tersebut.
Jenis kejang diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan lokasi gangguan di otak, yaitu:
1. Jenis Parsial
Jenis ini muncul akibat adanya gangguan aktivitas listrik pada satu area tertentu di otak. Dikenal juga sebagai kejang fokal, kondisi ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa yang mengalami gangguan saraf ini.
Bentuk dan gejala kejangnya akan berbeda tergantung pada area otak yang terkena. Tanda-tanda yang muncul bisa berupa gerakan otot atau dirasakan melalui indera peraba, penglihatan, dan lainnya.
Biasanya hanya memengaruhi satu sisi tubuh atau satu bagian tubuh tertentu. Meski demikian, jenis ini kadang dapat berkembang menjadi kejang menyeluruh.
Pada tipe ini, hanya sebagian dari otak yang mengalami gangguan. Kejang parsial terbagi lagi menjadi dua bentuk:
- Kejang parsial sederhana
Yaitu kejang di mana kesadaran tetap terjaga. Gejala yang mungkin timbul meliputi kedutan, sensasi geli, pandangan kabur, atau cahaya yang tampak berkedip. Area tubuh yang terlibat sangat tergantung pada bagian otak mana yang mengalami gangguan.
Misalnya, jika bagian otak yang mengatur gerakan tangan terganggu, maka hanya tangan yang akan bereaksi. Selain itu, dapat pula muncul perubahan perasaan secara tiba-tiba, seperti rasa takut atau gembira yang datang mendadak.
- Kejang parsial kompleks
Yaitu jenis kejang yang memengaruhi kesadaran, membuat penderita tampak kebingungan atau seperti sedang melamun.
Gejalanya bisa mencakup pandangan kosong, gerakan berulang seperti menelan, mengunyah, atau mengusap tangan secara otomatis tanpa sadar.
2. Jenis Umum
Pada tipe ini, seluruh bagian otak terlibat, dan gejala yang timbul memengaruhi seluruh tubuh. Tanda-tanda kejang umum meliputi:
- Mata terbuka selama serangan berlangsung
- Kejang tonik, yaitu kondisi ketika tubuh menjadi kaku selama beberapa detik, terkadang disertai gerakan ritmis pada lengan dan kaki.
- Kejang atonik, yaitu saat otot tubuh tiba-tiba melemas sehingga menyebabkan tubuh jatuh tanpa kendali.
- Kejang klonik, yakni gerakan ritmis dan berulang yang melibatkan bagian tubuh seperti leher, wajah, dan tangan.
- Dalam beberapa kasus, penderita bisa mengeluarkan suara keras atau berteriak saat kejang terjadi.
- Kejang dapat juga muncul saat seseorang sedang tidur.
- Terkadang, penderita mengalami gangguan pernapasan selama beberapa saat, menyebabkan kulit tampak pucat atau kebiruan.
Dalam kasus tertentu, individu bisa kehilangan kesadaran total, dan setelah sadar kembali, mereka kerap berada dalam kondisi bingung selama beberapa menit hingga jam.
Ada pula jenis kejang yang banyak ditemukan pada anak-anak, yaitu tipe tidak sadar atau dikenal sebagai petit mal. Meskipun tidak membahayakan, kondisi ini dapat memengaruhi kemampuan konsentrasi dan performa di sekolah.
Gejala umumnya termasuk hilangnya kesadaran beberapa detik, gerakan berkedip, atau menggigit bibir, serta pandangan kosong. Anak-anak dengan tipe ini biasanya tidak menyadari kejadian tersebut dan tidak mengingatnya setelah kejang berakhir.
Faktor Penyebab Epilepsi
Dalam banyak situasi, penyebab pasti dari gangguan ini tidak dapat dipastikan. Meski begitu, ada sejumlah faktor yang diketahui dapat memengaruhi fungsi otak dan berpotensi memicu kondisi tersebut. Beberapa di antaranya meliputi:
- Faktor keturunan
Beberapa jenis kondisi ini diklasifikasikan berdasarkan jenisnya atau area otak yang terdampak, dan bisa diwariskan dari anggota keluarga. Jika seseorang memiliki riwayat keluarga dengan kondisi serupa, maka risikonya akan meningkat.
- Trauma pada kepala
Cedera serius yang mengenai kepala, seperti akibat kecelakaan lalu lintas, terjatuh dengan keras, atau benturan hebat lainnya, dapat memicu timbulnya gangguan ini.
- Kerusakan pada otak
Kondisi seperti pertumbuhan jaringan abnormal di otak (tumor) maupun penyumbatan aliran darah (stroke) dapat memicu terjadinya gangguan saraf ini.
Khusus pada orang berusia di atas 35 tahun, stroke merupakan penyebab utama dari kemunculan gejala kejang.
- Infeksi tertentu
Penyakit menular seperti peradangan pada selaput otak (meningitis), virus penyebab gangguan kekebalan tubuh, hingga infeksi otak lainnya, dapat menjadi pemicu kondisi ini.
- Masalah saat masa kehamilan
Pada bayi dan anak-anak, kondisi ini bisa dipicu oleh gangguan yang terjadi sebelum mereka lahir.
Kerusakan pada otak janin dapat terjadi akibat infeksi yang dialami oleh ibu, asupan nutrisi yang buruk selama kehamilan, atau kekurangan oksigen saat dalam kandungan.
- Kelainan perkembangan
Beberapa gangguan neurologis, seperti spektrum autisme dan neurofibromatosis, juga berhubungan erat dengan munculnya kondisi ini.
Faktor-faktor di atas dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami kejang berulang, tergantung pada kondisi masing-masing individu dan tingkat kerentanan sistem saraf mereka.
Faktor Risiko Epilepsi
Meskipun penyebab utamanya belum sepenuhnya dipahami, sejumlah faktor telah diidentifikasi oleh para ahli sebagai hal-hal yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami kondisi kejang berulang ini.
Beberapa faktor risiko tersebut meliputi:
- Rentang usia
Anak-anak serta orang lanjut usia menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia produktif. Meski begitu, gangguan ini tetap dapat menyerang siapa saja tanpa memandang umur.
- Faktor keturunan
Riwayat penyakit dalam keluarga berperan penting terhadap risiko seseorang mengembangkan kondisi ini. Adanya gen tertentu yang diwariskan dapat membuat individu lebih rentan mengalami gangguan kejang.
- Cedera pada kepala
Benturan keras akibat insiden seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh, atau trauma lainnya yang mengenai kepala bisa menjadi pemicu timbulnya masalah saraf ini.
- Gangguan pembuluh darah dan stroke
Penyumbatan atau gangguan aliran darah ke otak, termasuk serangan stroke, dapat menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan otak yang kemudian memunculkan risiko kejang.
- Penurunan fungsi kognitif
Lansia yang mengalami gangguan daya ingat seperti demensia lebih rentan terserang kondisi ini karena terjadinya penurunan fungsi otak secara umum.
- Infeksi yang menyerang otak
Peradangan pada sistem saraf pusat, seperti yang terjadi pada penderita meningitis, juga bisa meningkatkan kemungkinan seseorang mengembangkan kejang berulang.
- Riwayat kejang pada masa kanak-kanak
Anak-anak yang pernah mengalami kejang akibat demam tinggi, terutama jika mereka juga memiliki gangguan pada sistem saraf atau berasal dari keluarga dengan riwayat penyakit serupa, memiliki peluang lebih besar mengalami kondisi ini seiring waktu.
Memahami berbagai faktor risiko ini sangat penting sebagai langkah pencegahan dan pengelolaan kondisi secara dini.
Diagnosis Epilepsi
Selain mengevaluasi gejala yang muncul dan menelaah riwayat kesehatan secara menyeluruh, tenaga medis kemungkinan akan melakukan serangkaian pemeriksaan guna memastikan diagnosis yang tepat.
Beberapa prosedur yang umumnya digunakan untuk mendeteksi gangguan ini antara lain:
- Evaluasi neurologis, yaitu pemeriksaan menyeluruh terhadap fungsi otak, koordinasi gerakan, serta respons perilaku untuk mengidentifikasi gangguan sistem saraf.
- Pemeriksaan darah, yang bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lain yang bisa menjadi penyebab munculnya kejang, seperti infeksi atau ketidakseimbangan zat kimia dalam tubuh.
- EEG (Elektroensefalografi), yakni metode yang paling sering dipakai dalam mendeteksi aktivitas kelistrikan otak yang tidak normal, yang menjadi ciri khas dari gangguan ini.
- Teknologi pencitraan otak seperti CT Scan, MRI, fMRI, PET Scan, dan SPECT juga sering digunakan untuk memperoleh gambaran detail dari struktur serta aktivitas otak.
Pemeriksaan ini membantu mendeteksi adanya kelainan fisik seperti tumor, luka, atau gangguan lainnya yang dapat menyebabkan kejang.
Sebagai penutup, pengertian epilepsi merujuk pada gangguan sistem saraf yang ditandai dengan kejang berulang akibat aktivitas listrik abnormal di otak.