Pengertian Doping: Sejarah, Jenis, dan Kasusnya di Indonesia

Pengertian Doping: Sejarah, Jenis, dan Kasusnya di Indonesia
pengertian doping

Pengertian doping sering dikaitkan dengan tindakan curang di olahraga, saat atlet memakai zat tertentu untuk meningkatkan performa secara instan.

Meski tindakan ini sudah dilarang dalam ajang olahraga resmi, kenyataannya masih ditemukan celah yang dimanfaatkan oleh sebagian atlet untuk mengonsumsi zat terlarang tersebut sebelum pertandingan dimulai.

Zat yang tergolong dalam kategori doping bekerja mirip seperti obat-obatan terlarang, karena dapat menimbulkan ketergantungan bagi pemakainya. 

Dampak penggunaannya sangat beragam, mulai dari gangguan psikologis, penurunan kesehatan tubuh, hingga rusaknya sistem kerja organ vital.

Lalu, sebenarnya apa itu doping? Apa saja jenis-jenisnya? Dan mengapa penggunaannya sangat dilarang dalam kompetisi olahraga?

Untuk memahami lebih jauh, artikel ini akan mengulas secara rinci mulai dari pengertian doping, berbagai jenisnya, hingga alasan mengapa zat ini dianggap sebagai pelanggaran serius dalam dunia olahraga.

Pengertian Doping

Pengertian doping dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai penggunaan obat-obatan atau darah untuk meningkatkan performa atlet secara instan. 

Sementara itu, dalam catatan sejarah di Wikipedia Indonesia, doping awalnya digunakan pada olahraga pacuan kuda di Inggris, berupa campuran antara obat-obatan dan zat narkotika.

Secara umum, doping mengacu pada pemakaian zat atau bahan tertentu—baik secara oral maupun melalui suntikan—yang dikonsumsi oleh atlet dalam ajang olahraga dengan tujuan untuk memaksimalkan performa secara tidak alami.

Berdasarkan keterangan dari Badan Anti-Doping Dunia (WADA), istilah “doping” diduga berasal dari kata dalam bahasa Belanda “dop”, yaitu minuman fermentasi dari kulit buah anggur yang pernah digunakan prajurit Zulu guna menambah kekuatan saat perang.

WADA secara rutin memperbarui daftar zat dan metode yang dilarang dalam olahraga. Sebuah zat atau prosedur dapat dikategorikan sebagai doping jika memenuhi minimal dua dari tiga syarat berikut:

  • Memiliki efek peningkatan performa secara signifikan,
  • Berpotensi membahayakan kesehatan atlet,
  • Bertentangan dengan nilai-nilai sportivitas.

Dalam asal-usul katanya, doping diambil dari kata “dope”, yang berarti campuran zat candu dan narkotika yang awalnya diberikan kepada kuda balap. 

Zat tersebut digunakan untuk menambah daya tahan dan semangat, meskipun hanya bersifat sementara. Sayangnya, penggunaan zat semacam itu justru dapat membahayakan kondisi tubuh.

Menurut pendapat ahli seperti Karimuddin, doping merupakan tindakan pemberian bahan asing kepada seseorang yang sehat, dalam dosis besar, untuk mendapatkan keunggulan secara curang dalam perlombaan.

Komite Olimpiade Internasional (IOC) pun ikut mengatur batasan penggunaan zat ini. 

Mereka menegaskan bahwa pemakaian doping adalah tindakan terlarang karena menggunakan zat perangsang demi meraih keunggulan, padahal efek sampingnya sangat berisiko terhadap kesehatan atlet itu sendiri.

Sejarah Doping

Kata "dope" mulai dikenal pada tahun 1889 dalam sebuah ajang balap kuda yang berlangsung di Inggris. 

Istilah tersebut awalnya berasal dari kelompok etnis yang berada di wilayah Afrika Tengah. Pada masa itu, penggunaan zat semacam itu belum dianggap sebagai sebuah isu serius. 

Namun, kejadian tragis yang mengarah pada kematian seorang atlet karena penggunaan zat peningkat performa tercatat pada tahun 1886—beberapa tahun sebelum istilah tersebut resmi digunakan. 

Insiden ini terjadi dalam perlombaan sepeda dari kota Bordeaux menuju Paris yang menempuh jarak 600 kilometer. Salah satu peserta meninggal dunia setelah pelatihnya memberikan obat dengan tujuan meningkatkan daya tahan tubuhnya.

Catatan penggunaan zat stimulan dalam bidang olahraga telah muncul sejak abad ke-19, dengan cabang olahraga renang menjadi salah satu yang pertama kali terdampak. 

Penggunaan zat tersebut kemudian lebih sering ditemukan dalam dunia balap sepeda. Beberapa jenis zat yang digunakan pada saat itu mencakup larutan gula dalam eter, minuman beralkohol, kafein, kokain, heroin, hingga nitrogliserin.

Sekitar tahun 1910, mulai muncul inisiatif penolakan terhadap penggunaan zat semacam ini dalam olahraga. Dorongan tersebut dipicu oleh penemuan metode deteksi zat peningkat performa oleh seorang peneliti asal Rusia. 

Seiring waktu, masyarakat semakin menyadari risiko yang ditimbulkan dan perlahan menolak penggunaannya.

Gerakan kampanye untuk menolak praktik penggunaan zat perangsang mulai digencarkan setelah berbagai bahaya terungkap. 

Kesadaran publik terhadap pentingnya pengawasan pun meningkat, hingga akhirnya pada Olimpiade Musim Dingin di Grenoble tahun 1972, pemeriksaan resmi terhadap penggunaan zat terlarang diterapkan untuk pertama kalinya.

Walaupun metode pengujian sudah tersedia dan dampaknya terhadap tubuh sudah diketahui secara luas, penggunaan zat semacam ini tetap terjadi di kalangan atlet. 

Tujuan utama dari penggunaannya adalah untuk memberikan dorongan kekuatan ekstra, walaupun risikonya sangat besar bagi kesehatan penggunanya.

Jenis-jenis Doping

Dalam jurnal berjudul “Doping dalam Olahraga” yang ditulis oleh Made Budiawan, dijelaskan bahwa penggunaan zat peningkat performa dapat dibagi menjadi beberapa golongan utama. 

Salah satu kelompok utamanya adalah golongan stimulan. Jenis-jenis zat dalam kelompok ini meliputi kafein, kokain, dan amfetamin. Berikut adalah penjabaran mengenai masing-masing zat tersebut.

Amfetamin

Dalam dunia kompetisi fisik, amfetamin sering digunakan untuk mengurangi rasa lelah, meningkatkan reaksi tubuh, memperkuat fokus, dan memperbesar dorongan agresif. 

Ada empat mekanisme kerja utama yang menjelaskan bagaimana zat ini mampu memengaruhi performa atlet, yaitu:

  1. Meningkatkan pelepasan senyawa kimia seperti noradrenalin, dopamin, dan serotonin dalam sistem saraf.
  2. Menghambat penyerapan kembali neurotransmitter yang telah dilepaskan.
  3. Langsung memengaruhi reseptor yang merespons neurotransmitter tersebut.
  4. Menekan aktivitas enzim monoamin oksidase yang berperan dalam penguraian neurotransmitter.

Penggunaan amfetamin juga membawa sejumlah risiko, antara lain kecanduan, gemetar, gangguan tidur, serta peningkatan perilaku agresif yang bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain. 

Dalam sistem peredaran darah, zat ini dapat meningkatkan risiko serius karena mendorong redistribusi aliran darah pada permukaan kulit, sehingga proses pelepasan panas tubuh terganggu dan menyebabkan suhu tubuh meningkat drastis. 

Jika dikonsumsi dalam jangka panjang, bisa memicu gangguan psikis seperti delusi atau gejala mirip skizofrenia.

Kafein

Zat ini kerap digunakan untuk mempertajam konsentrasi, mempercepat respons tubuh, serta dalam takaran tinggi dapat merangsang pemanfaatan cadangan energi berupa lemak dan glikogen otot. 

Mekanisme kafein bekerja dengan menghambat aktivitas enzim fosfodiesterase yang bertanggung jawab mengaktifkan senyawa cAMP. Selain itu, kafein juga bersifat sebagai penghambat reseptor adenosin di otak.

Efek samping dari kafein dapat dibagi menjadi dua tingkat. Untuk dampak ringan, kafein bisa menimbulkan gangguan suasana hati, kesulitan tidur, dan masalah pada sistem pencernaan. 

Sedangkan dalam kasus yang lebih berat, pengguna bisa mengalami luka pada lambung, kebingungan mental, hilang kesadaran, hingga gangguan irama jantung yang serius.

Kafein juga memiliki potensi menyebabkan ketergantungan. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa bila dikombinasikan dengan efedrin, zat ini bisa memunculkan gejala seperti mual dan muntah.

Kokain

Penggunaan kokain dalam konteks olahraga biasanya bersifat rekreasional, karena zat ini menimbulkan sensasi menyimpang dari kenyataan. 

Salah satu dampaknya adalah mengaburkan rasa lelah yang sebenarnya dirasakan oleh tubuh, sehingga atlet dapat terus berkompetisi seolah tanpa kelelahan meskipun dalam intensitas tinggi.

Zat ini bekerja dengan cara yang rumit terhadap sistem otak, terutama dengan menghalangi penyerapan kembali neurotransmitter — terutama dopamin — yang pada akhirnya menghasilkan rasa senang berlebihan atau euforia. 

Meskipun memberikan efek sementara yang diinginkan, penggunaan kokain membawa risiko yang sangat besar.

Dampak negatif dari konsumsi kokain meliputi gangguan pada proses pemecahan glikogen menjadi energi, munculnya gejala kejiwaan seperti delusi dan kecurigaan berlebihan, peningkatan tekanan darah yang dapat menyebabkan gangguan aliran darah ke organ penting, ketidakteraturan irama jantung, hingga risiko kematian mendadak.

2. Kelompok Zat Narkotik

Zat-zat yang termasuk dalam kelompok narkotik-analgetik sering kali digunakan secara tidak semestinya untuk meredakan nyeri. Obat-obatan ini juga biasa dipakai untuk meredakan batuk serta gangguan pencernaan seperti diare. 

Cara kerja zat ini berkaitan dengan senyawa opium dan turunannya yang berinteraksi dengan reseptor tertentu di otak, yang biasanya dipengaruhi oleh endorfin alami tubuh.

Narkotik tidak hanya mampu menekan rasa sakit, tetapi juga berpotensi memengaruhi kondisi emosional. Bila digunakan dalam jangka waktu yang lama, zat ini bisa menimbulkan ketergantungan fisik maupun psikologis.

3. Kelompok Steroid Anabolik Androgenik

Steroid dalam kelompok ini sering dimanfaatkan untuk memperbesar kekuatan fisik dan meningkatkan kecepatan melalui perpanjangan durasi latihan, mempercepat proses pemulihan tubuh, serta memicu agresivitas dan pertumbuhan massa otot. 

Penggunaan steroid anabolik androgenik yang dikombinasikan dengan hormon pertumbuhan (GH) maupun HCG (human chorionic gonadotropin) juga mampu meningkatkan intensitas fisik di lapangan. Steroid ini memiliki dua pengaruh utama:

  • Efek anabolik, yaitu peningkatan ukuran dan massa otot.
  • Efek androgenik, yaitu pemunculan ciri-ciri fisik maskulin.

Zat ini bekerja dengan memperkuat pengaruh hormon androgen alami tubuh, mengaktifkan sistem pembentukan protein, dan menghambat pemecahan jaringan otot. 

Dehidroepiandrosteron termasuk dalam golongan doping karena merupakan pendahulu bagi pembentukan hormon androgen alami seperti testosteron dan dihidrotestosteron, serta mampu meningkatkan kadar IGF-1 (Insulin Growth Factor-1).

Penggunaan steroid anabolik androgenik dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, antara lain:

  • Gangguan sistem kardiovaskular

Penurunan kadar kolesterol baik (HDL) dan peningkatan kolesterol jahat (LDL), yang meningkatkan risiko pengerasan pembuluh darah.

  • Dampak pada fungsi hati

Organ hati menjadi sasaran utama akibat peranannya dalam metabolisme. Pemakaian dosis tinggi dapat menyebabkan pembesaran sel hati, gangguan aliran empedu (cholestasis), hingga tumor hati yang berbahaya.

  • Gangguan sistem reproduksi

Pada pria, dapat menyebabkan pengecilan testis, penurunan jumlah sperma, dan gangguan pergerakan sperma hingga berdampak pada kesuburan. Sementara pada wanita bisa menyebabkan gangguan menstruasi seperti berhentinya haid.

  • Risiko infeksi

Efek ini biasanya disebabkan oleh penggunaan jarum suntik yang tidak steril, yang dapat menimbulkan penyakit serius seperti HIV/AIDS.

  • Gangguan psikologis

Pemakaian steroid ini dapat menimbulkan perubahan suasana hati ekstrem, mulai dari mania, hipomania, hingga depresi.

  • Perubahan fisik

Dampak ini lebih sering terlihat pada wanita, seperti timbul jerawat, tumbuhnya rambut di wajah, pembesaran klitoris, perubahan bentuk rahang, gangguan siklus haid, dan pengecilan payudara.

4. Kelompok Diuretik

Zat-zat dalam kelompok ini dikenal karena kemampuannya meningkatkan performa, meskipun penggunaannya umumnya bertujuan untuk memperbanyak produksi urin. 

Hal ini dilakukan untuk mempercepat pengeluaran zat-zat lain dari dalam tubuh, termasuk hasil metabolisme obat-obatan yang digunakan sebelumnya.

Selain itu, diuretik juga banyak dimanfaatkan oleh atlet yang berlaga dalam cabang olahraga dengan kategori berdasarkan berat badan, karena membantu menurunkan berat badan dalam waktu singkat. 

Mekanisme kerja diuretik berlangsung di ginjal, yaitu dengan merangsang peningkatan produksi urin.

Namun, penggunaannya tidak lepas dari efek negatif seperti dehidrasi dan terganggunya keseimbangan elektrolit tubuh, terutama penurunan kadar kalium yang justru bisa berdampak buruk terhadap kemampuan fisik dan kesehatan secara umum.

5. Kelompok Beta Bloker (? Blocker)

Zat ini kerap digunakan untuk mengendalikan kecemasan, terutama dalam olahraga yang menuntut fokus dan ketenangan mental, seperti panahan, menembak, atau ski lompatan.

Beta bloker memiliki cara kerja yang kompleks karena digunakan juga untuk menangani berbagai gangguan kesehatan.

Obat ini biasa diberikan kepada penderita penyakit jantung seperti angina pektoris dan tekanan darah tinggi. Di samping itu, penggunaannya juga ditemukan dalam pengobatan migrain dan tremor. 

Namun, efek samping yang dapat ditimbulkan mencakup penyempitan saluran pernapasan (bronchospasme), gangguan tidur seperti insomnia, munculnya mimpi buruk, hingga depresi.

6. Kelompok Hormon Peptida

Jenis hormon yang termasuk dalam kelompok ini meliputi HCG (Human Chorionic Gonadotropin), LH (Luteinizing Hormone), ACTH (Adrenocorticotropic Hormone), serta insulin. 

Umumnya, hormon-hormon ini dimanfaatkan untuk merangsang peningkatan kadar hormon androgen dalam tubuh guna meningkatkan penampilan fisik atlet.

Cara kerjanya bergantung pada jenis hormon yang digunakan. HCG dan LH, misalnya, akan memicu naiknya produksi testosteron, sedangkan ACTH memengaruhi pelepasan kortikosteroid. 

Kombinasi efek dari hormon-hormon ini dapat memperbaiki daya tahan dan kekuatan fisik. Namun, dampak negatifnya tidak bisa diabaikan. 

Beberapa di antaranya adalah munculnya sakit kepala, perubahan suasana hati yang drastis, hingga pembesaran jaringan payudara (gynecomastia), yang menjadi masalah khususnya bagi pria.

Kasus Penggunaan Doping di Indonesia

Beberapa atlet asal Indonesia pernah menerima hukuman akibat penggunaan zat terlarang saat berkompetisi. Berikut ini adalah sejumlah kejadian yang pernah mencuat:

1. Salah satu kasus terjadi pada ajang SEA Games 2011, ketika seorang atlet kempo dari Indonesia dinyatakan menggunakan zat anabolik jenis methandienone. Padahal saat itu, ia berhasil meraih medali emas dalam nomor Kyu Kenshi. 

Namun, setelah dinyatakan terbukti memakai zat terlarang, medali emas tersebut harus dikembalikan. Kejadian ini mencoreng nama bangsa yang kala itu berperan sebagai tuan rumah.

2. Pada tahun 2013, pelanggaran serupa terjadi dalam cabang olahraga renang. Seorang perenang nasional kedapatan menggunakan zat Methylhexaneamine saat berlaga dalam nomor 50 meter gaya dada di ajang Asian Indoor and Martial Arts Games (AIMAG).

Akibatnya, prestasinya dianulir dan ia dijatuhi larangan bertanding di semua kompetisi internasional selama dua tahun.

3. Dalam nomor estafet gaya bebas di ajang yang sama, seorang perenang lain juga terbukti menggunakan zat serupa. Ia menerima sanksi yang sama, yakni larangan bertanding selama dua tahun. 

Organisasi renang internasional yang menangani kasus ini menetapkan bahwa sanksi tersebut berlaku mulai 1 Juli 2013. 

Awalnya, pihak nasional berwenang menjatuhkan hukuman larangan bertanding selama tiga bulan saja, namun karena terjadi kesalahan komunikasi antara lembaga nasional dan federasi internasional, sanksi tersebut diperberat. 

Semua penghargaan, termasuk medali SEA Games 2013 di Myanmar, akhirnya dibatalkan.

4. Di luar atlet, sanksi juga pernah dijatuhkan pada badan antidoping nasional pada 7 Oktober 2021. 

Organisasi antidoping dunia memberikan hukuman karena lembaga tersebut tidak memenuhi kuota tahunan dalam melakukan pengambilan sampel serta tidak mencapai jumlah minimal pemeriksaan doping. 

Sanksi berlangsung selama satu tahun dan mengakibatkan dilarangnya pengibaran bendera nasional dalam setiap ajang olahraga internasional, baik tunggal maupun multi-event. 

Dalam kurun waktu sekitar empat bulan, Indonesia mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi, termasuk memenuhi standar tes tahunan dan membereskan permasalahan administratif, hingga akhirnya berhasil keluar dari masa hukuman tersebut.

Sebagai penutup, pengertian doping berkaitan erat dengan penggunaan zat terlarang untuk meningkatkan performa secara instan, namun berisiko membahayakan kesehatan atlet.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index