JAKARTA – Petani kelapa sawit di Indonesia tengah menghadapi tekanan berat, baik dari sisi harga yang fluktuatif maupun dari kebijakan penertiban lahan sawit dalam kawasan hutan yang dilakukan pemerintah. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap masa depan usaha mereka dan keberlangsungan industri sawit nasional yang selama ini menjadi andalan ekspor dan ketahanan pangan negara.
Fluktuasi Harga TBS dan Dampaknya pada Petani
Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Fluktuasi ini sangat dipengaruhi oleh dinamika harga crude palm oil (CPO) di pasar global, yang terpengaruh oleh faktor geopolitik dan geoekonomi internasional.
“Petani adalah ujung tombak dalam rantai pasok global dan domestik. Ketika harga CPO bergejolak, dampaknya langsung terasa pada harga TBS yang diterima petani. Ini sangat berpengaruh pada ketahanan pangan nasional,” ujar Dr. Mutiara Panjaitan, perwakilan Dewan Pakar Bidang Kebijakan DPP Apkasindo.
Fluktuasi harga ini bukan hanya menyulitkan petani dalam merencanakan usaha, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang dapat mengancam keberlanjutan sektor sawit sebagai sumber penghidupan utama jutaan petani di seluruh Indonesia.
Penertiban Lahan Sawit dalam Kawasan Hutan: Ketidakpastian yang Meningkat
Selain tekanan dari harga, petani sawit kini juga menghadapi tantangan besar berupa penertiban lahan sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Pemerintah melakukan penertiban untuk memastikan tata kelola lahan yang lebih baik dan menjaga kelestarian hutan.
Namun, proses penertiban yang masif dan cepat ini menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian di kalangan petani. Banyak petani yang belum mendapatkan informasi lengkap terkait subjek, objek, dan luasan lahan yang ditertibkan.
“Petani perlu mendapatkan informasi yang utuh tentang lahan yang ditertibkan agar dapat memberikan kontribusi positif bagi kebijakan ketahanan pangan nasional,” kata Mutiara.
Ketidakjelasan informasi ini berpotensi menimbulkan efek psikologis negatif dan mengganggu produktivitas petani, yang pada akhirnya dapat merusak iklim investasi dan ketahanan industri sawit.
Perlunya Pendekatan Inklusif dan Komunikatif
Apkasindo menekankan pentingnya pendekatan yang komunikatif dan inklusif dalam pelaksanaan penertiban lahan. Petani harus dilibatkan sejak awal agar kebijakan ini tidak hanya dianggap sebagai beban, tetapi juga sebagai bagian dari upaya memperbaiki tata kelola sawit secara nasional.
“Kami mendukung penertiban sebagai bagian dari upaya menciptakan tata kelola yang lebih baik. Namun pendekatan pemerintah harus solutif dan melibatkan petani sejak awal agar tidak menimbulkan kegaduhan,” tegas Mutiara.
Pendekatan seperti ini diharapkan dapat menjaga keberlanjutan usaha petani dan sekaligus mendukung target pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan.
Pembentukan Badan Pengelola Sawit Terpadu
Salah satu solusi yang diajukan Apkasindo adalah pembentukan satu badan atau lembaga yang mengorkestrasi seluruh pelaku usaha sawit, mulai dari hulu hingga hilir. Badan ini akan bertugas mengelola data terpadu, mengatur produksi, dan menjaga keberlanjutan usaha.
“Dengan badan ini, pemerintah dapat memiliki data yang akurat untuk membuat kebijakan yang tepat dan terkoordinasi. Ini juga penting untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor sawit,” ujar Mutiara.
Badan terpadu ini diharapkan dapat menyelesaikan berbagai persoalan klasik yang selama ini menghambat pengembangan sawit, mulai dari ketidakpastian harga CPO, rendahnya produktivitas, hingga masalah legalitas lahan dalam kawasan hutan.
Tantangan Ekspor dan Tarif Internasional
Selain tantangan domestik, industri sawit Indonesia juga menghadapi hambatan dari pasar ekspor. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan 2025 akan menjadi tahun penuh tantangan bagi para pelaku usaha sawit.
Salah satu tantangan utama datang dari tarif ekspor yang tinggi dari negara tujuan, khususnya Amerika Serikat, yang menerapkan tarif hingga 32 persen terhadap produk sawit Indonesia lebih tinggi dibandingkan tarif untuk Malaysia yang sebesar 24 persen.
“Tarif ekspor yang tinggi ini menjadi beban tambahan yang mengurangi daya saing produk sawit Indonesia di pasar internasional,” ungkap sumber dari Gapki.
Tekanan tarif ini bersamaan dengan penurunan produksi dan hambatan regulasi membuat pelaku usaha sawit harus terus berinovasi dan beradaptasi untuk menjaga keberlanjutan bisnis mereka.
Sawit sebagai Tulang Punggung Ekonomi dan Ketahanan Pangan
Kelapa sawit bukan hanya komoditas ekonomi biasa. Ia menjadi pilar utama bagi perekonomian nasional dengan menyerap tenaga kerja jutaan orang dan menyediakan devisa besar melalui ekspor.
“Sektor sawit sangat penting bagi ketahanan pangan dan energi nasional. Produktivitas petani harus dijaga agar dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen,” tegas Mutiara.
Oleh karena itu, kepastian hukum dan informasi yang jelas kepada petani menjadi kunci utama dalam menjaga keberlanjutan industri sawit di tengah berbagai tantangan yang ada.
Perlu Sinergi Pemerintah dan Petani
Penertiban lahan sawit dalam kawasan hutan adalah langkah penting dalam memperbaiki tata kelola sumber daya alam, namun harus dilaksanakan dengan pendekatan yang inklusif dan transparan. Petani membutuhkan informasi yang akurat agar dapat beradaptasi dan berkontribusi positif terhadap kebijakan ketahanan pangan.
Pembentukan badan pengelola sawit terpadu juga menjadi solusi strategis untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada dan mendukung pengembangan industri sawit nasional secara berkelanjutan.
Sinergi antara pemerintah, asosiasi petani, dan pelaku usaha lain menjadi kunci agar sawit Indonesia tetap menjadi komoditas unggulan yang memberi manfaat luas bagi ekonomi dan masyarakat.