JAKARTA - Upaya Bank Indonesia (BI) untuk mendorong penurunan bunga kredit tampaknya masih menemui jalan terjal. Meski suku bunga acuan sudah diturunkan sejak September 2024, perbankan nasional belum menunjukkan respons yang signifikan dalam menurunkan suku bunga kredit kepada nasabah.
Menurut laporan Kontan.co.id yang terbit pada 20 Desember 2024, perbankan masih enggan memangkas bunga kredit karena tingginya biaya dana dan kebutuhan menjaga margin keuntungan di tengah kondisi likuiditas yang ketat. Penurunan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin belum mampu mendorong bunga kredit turun secara merata.
Data Bank Indonesia per April 2025 menunjukkan bahwa suku bunga deposito tenor satu bulan berada di level 4,83 persen, naik dari posisi 4,81 persen di awal tahun. Di saat yang sama, rata-rata bunga kredit hanya sedikit turun dari 9,20 persen pada Januari menjadi 9,19 persen di April. Angka ini menunjukkan bahwa transmisi kebijakan moneter belum optimal dalam mendorong penurunan biaya pinjaman di sektor perbankan.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan pentingnya penurunan bunga kredit untuk memperkuat akses pembiayaan ke sektor riil.
“Yang perlu kita dorong adalah di perbankannya ke sektor riil, suku bunga depositonya dan juga pendanaannya perlu kita perluas dan terutama itu juga suku bunga kredit,” tegas Perry dalam konferensi pers belum lama ini.
Sementara itu, pertumbuhan kredit perbankan per April 2025 tercatat sebesar 8,88 persen (year-on-year), menurun dibandingkan Maret 2025 yang sebesar 9,16 persen. BI pun berharap penurunan bunga kredit dapat mengakselerasi pertumbuhan kredit ke level 8–11 persen hingga akhir 2025.
Namun, keinginan BI tersebut belum sejalan dengan kondisi perbankan di lapangan. Menurut laporan yang sama, bank-bank besar seperti BCA, Mandiri, BRI, dan BNI menghadapi tekanan terhadap margin bunga bersih (NIM) mereka akibat tingginya biaya pendanaan serta lambatnya pertumbuhan kredit.
Pengamat perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Moch Amin Nurdin, menyebutkan bahwa NIM perbankan cenderung melemah karena stagnasi BI rate dan meningkatnya biaya operasional.
“Bank perlu melakukan diferensiasi produk kredit dan memanfaatkan digitalisasi agar bisa meningkatkan margin tanpa harus menaikkan bunga kredit secara drastis,” ujar Amin.
Dari sisi perbankan, eksekutif bank menilai bahwa menurunkan bunga kredit secara agresif akan menekan profitabilitas. Tingginya cost of fund dari dana pihak ketiga, terutama deposito, membuat ruang untuk memangkas bunga kredit semakin terbatas. Oleh karena itu, sebagian bank memilih strategi bertahan dengan margin yang lebih stabil, meskipun harus mengorbankan sedikit laju ekspansi kredit.
Meski demikian, BI tetap optimistis bahwa pertumbuhan kredit sepanjang tahun 2025 bisa menembus kisaran 11–13 persen, seiring dengan stabilnya sistem keuangan dan dukungan kebijakan moneter yang longgar. Namun, risiko likuiditas, ketidakpastian global, serta rendahnya daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah dan pelaku UMKM masih membayangi.
Faktor-Faktor yang Menghambat Penurunan Bunga Kredit
Likuiditas yang ketat – Biaya pengumpulan dana dari deposito dan sumber lainnya relatif tinggi.
Margin keuntungan (NIM) – Bank perlu menjaga profitabilitas dan daya saing di tengah tekanan biaya.
Ketidakpastian ekonomi global – Gejolak geopolitik dan inflasi menuntut kehati-hatian.
Permintaan kredit melambat – Lemahnya daya beli menyebabkan penyaluran kredit tidak maksimal.
Langkah-Langkah Percepatan dari BI
Mendorong penurunan suku bunga deposito dan kredit melalui kebijakan suku bunga acuan dan pelonggaran bunga penjaminan simpanan.
Menggunakan instrumen makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, sekaligus memperkuat kredit ke sektor strategis seperti UMKM dan pertanian.
Secara keseluruhan, BI telah mengambil langkah-langkah akomodatif, namun respons dari industri perbankan masih terbatas. Jika tidak ada penyesuaian dalam waktu dekat, tujuan BI untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit berisiko melambat. Perlu koordinasi yang lebih erat antara regulator, otoritas fiskal, dan pelaku industri agar kebijakan bisa berjalan secara efektif.