Rasio KPR Indonesia Masih Rendah, BI Soroti Backlog Perumahan 9,9 Juta Unit

Senin, 07 April 2025 | 18:00:46 WIB
Rasio KPR Indonesia Masih Rendah, BI Soroti Backlog Perumahan 9,9 Juta Unit

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa rasio kredit pemilikan rumah (KPR) terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional masih tergolong rendah. Berdasarkan data terbaru dari PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), pada triwulan IV 2023, rasio KPR Indonesia hanya mencapai 3,16 persen, naik tipis dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 3,10 persen, Senin, 7 April 2025.

Rendahnya rasio ini menjadi indikator serius terhadap masih terbatasnya akses masyarakat terhadap pembiayaan rumah, di tengah tingginya kebutuhan hunian yang layak di seluruh Indonesia.

Backlog Perumahan Capai 9,9 Juta Unit di 2023

Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Solikin M. Juhro, menyebut bahwa rendahnya rasio KPR erat kaitannya dengan tingginya backlog perumahan—yakni selisih antara jumlah rumah yang tersedia dengan kebutuhan aktual masyarakat.

“Ada backlog di berbagai daerah. Kalau kita lihat, di Sumatra dan Jawa, yang banyak itu di Jawa. Kalau di Bali dan Nusa Tenggara, yang enggak ada [backlog] itu di Papua. Enggak ada karena orangnya enggak banyak,” ujar Solikin dalam Taklimat Media di Kantor Pusat BI, Jakarta Pusat.

Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat backlog perumahan nasional pada 2023 mencapai 9,9 juta unit. Meski mengalami penurunan dibandingkan tahun 2022 yang mencatat angka 10,51 juta unit, jumlah tersebut masih sangat tinggi.

Faktor Ekonomi dan PHK Pengaruhi Daya Beli Masyarakat

Menurut BI, salah satu penyebab lambannya penurunan backlog adalah melemahnya daya beli masyarakat. Fenomena ini diperparah dengan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masif di berbagai sektor. Kondisi ini membuat masyarakat semakin kesulitan untuk mengakses pembiayaan rumah, baik melalui KPR bersubsidi maupun nonsubsidi.

“Kalau kita lihat juga, sementara dari rasio KPR kita juga masih rendah. Nah, inilah yang memang harus kita tingkatkan. Jadi, secara kontrafaktual pun kita melihat, ini ya concern dari Bapak Presiden,” kata Solikin.

Kinerja KPR Masih Didominasi Rumah Tapak Nonsubsidi

Sementara itu, data dari PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) menunjukkan bahwa sepanjang 2024, penyaluran KPR subsidi mencapai Rp173,84 triliun, meningkat 7,5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Di sisi lain, penyaluran KPR nonsubsidi tumbuh lebih tinggi, mencapai Rp105,95 triliun, atau naik 10,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun demikian, kontribusi KPR terhadap PDB Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand, yang masing-masing telah mencatatkan rasio KPR terhadap PDB di atas 30 persen.

Pengembang Hadapi Tantangan Ekonomi Domestik

Selain faktor dari sisi permintaan, tantangan juga datang dari sisi penawaran. Para pengembang properti menghadapi kondisi ekonomi yang tidak menentu, yang turut menghambat pembangunan rumah terjangkau. Mulai dari isu protes terhadap kebijakan Undang-Undang TNI, hingga pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turut menekan biaya produksi dan pengembangan perumahan.

“Kemudian, yang internal sendiri adalah harganya juga yang bisa ditawarkan oleh pengembang. Supaya harga itu tetap terjangkau [konsumen], tapi kami bisa tetap juga ikut berpartisipasi menyediakan rumah murah,” ujar Bambang Ekajaya, Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), saat dihubungi Tirto.

Bambang juga menyebut bahwa minat dan kemampuan masyarakat dalam membeli rumah, baik rumah tapak maupun hunian vertikal, menurun drastis akibat kondisi ekonomi saat ini. Hal ini turut menekan pertumbuhan sektor properti nasional.

Dorongan Solusi dari Pemerintah dan BI

Bank Indonesia menegaskan perlunya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku industri dalam mendorong peningkatan rasio KPR dan pengurangan backlog. Kebijakan fiskal seperti subsidi bunga KPR, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), serta insentif pajak bagi pengembang perlu diperkuat agar lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.

Pemerintah juga diharapkan mendorong pembangunan perumahan rakyat skala besar, terutama di wilayah urban dan suburban, untuk menjawab kebutuhan hunian layak sekaligus memperluas akses masyarakat terhadap KPR.

Terkini