Hukuman Cambuk di Aceh: Mengapa Hukum Islam Hanya Difokuskan pada Kejahatan Seksual?

Kamis, 27 Februari 2025 | 13:26:23 WIB
Hukuman Cambuk di Aceh: Mengapa Hukum Islam Hanya Difokuskan pada Kejahatan Seksual?

JAKARTA — Konflik penerapan hukum syariah kembali mengemuka setelah Mahkamah Syariah Banda Aceh menjatuhkan hukuman cambuk masing-masing 80 dan 85 kali kepada dua pria yang ditangkap melakukan hubungan sesama jenis di wilayah tersebut. Kasus ini menimbulkan pertanyaan di kalangan publik mengenai mengapa hukum Islam di Aceh tampaknya lebih condong diterapkan pada kejahatan seksual dan kurang pada kejahatan ekonomi yang merugikan masyarakat.

Pada sidang yang digelar pada Senin, 24 Februari 2020, dengan ketua majelis hakim Sakwanah, putusan ini dibacakan. Dua laki-laki berinisial AI dan DA, yang masih berstatus mahasiswa, terbukti melanggar Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat, pasal 63 ayat (1), setelah tertangkap tangan oleh warga. Warga setempat yang curiga sejak lama mendobrak rumah kos tempat keduanya berada dan menemukan mereka dalam keadaan tidak berpakaian.

Ketua majelis hakim menyatakan, “Selama persidangan terbukti bahwa para terdakwa melakukan tindakan terlarang, termasuk berciuman dan berhubungan seks... Sebagai Muslim, para terdakwa seharusnya menjunjung tinggi hukum syariah yang berlaku di Aceh,” ujarnya menambahkan alasan hukum yang memperkuat putusan tersebut. Keputusan ini dikatakan sudah mempertimbangkan beberapa aspek, termasuk kooperasi para terdakwa serta status mereka sebagai mahasiswa berprestasi.

Reaksi Terhadap Putusan

Putusan ini mendapat dukungan dari jaksa penuntut umum, Alfian, yang mengekspresikan kepuasannya terhadap hasil persidangan. "Hakim telah menjatuhkan vonis sesuai harapan kami, jadi kami puas dengan vonis ini. Jumlah hukuman cambuknya berbeda karena keduanya memiliki peran berbeda," paparnya.

Namun, tidak semua pihak puas dengan fokus penerapan hukum ini. Sejumlah warga seperti Muhammad Yusrizal merasa sudah sepantasnya Aceh menerapkan syariat Islam secara kaffah, sesuai sejarah dan otonomi khususnya. “Hukuman cambuk bagi pasangan sesama jenis itu sudah sangat tepat dilakukan di Aceh baik itu kepada pelaku zina, perjudian, dan mabuk,” ungkap Yusrizal.

Pada sisi lain, kritik muncul dari Amita Masyarah, seorang mahasiswi yang mempertanyakan ketidakadilan penerapan hukum tersebut. “Kenapa kok pelaku kejahatan seksual saja yang dihukum cambuk? Sementara untuk pejabat-pejabat koruptor lain itu malah dihukum di luar Aceh,” ujarnya dengan nada kritis. Amita mengusulkan bahwa lebih adil jika hukuman syariah juga diterapkan pada pelaku korupsi yang seharusnya dicambuk di Aceh — bukan hanya dihukum penjara dan denda di tempat lain. “Menurutku biar lebih terasa kalau apa yang selama ini dilakukannya khususnya korupsi itu sangat salah dan tidak dibenarkan agama,” imbuhnya.

Qanun Aceh dan Syariah Islam

Sebagai provinsi dengan otonomi khusus, Aceh memang memiliki keistimewaan dalam menerapkan hukum syariah Islam. Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 mencakup pengaturan hukum bagi sejumlah kejahatan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, serta tindakan homoseksual (liwath dan musahaqah). Meski demikian, kritik muncul soal keseriusan penerapan hukum pada korupsi dan pencurian sebagaimana diatur dalam teori hudud yang menuntut pemotongan tangan sebagai hukuman.

Hingga saat ini, diskusi masih berjalan di kalangan pemuka agama dan masyarakat mengenai penerapan hukuman yang lebih luas dari hanya kejahatan seksual. Meskipun demikian, aparat hukum dan para penegak syariah di Aceh berpegang pada hukum yang berlaku dan terus melanjutkan praktik hukuman sebagai upaya pelaksanaan syariat yang telah diatur dalam berbagai peraturan daerah.

Dalam kerangka yang lebih luas, tantangan bagi Aceh adalah bagaimana menunjukkan konsistensi dalam penegakan hukum syariah tanpa memperlihatkan bias yang menjatuhkan masyarakat dalam kubangan ketidakadilan, terutama dalam konteks kejahatan ekonomi yang sering kali tidak mendapatkan perhatian semestinya. Diskusi dan dialog harus tetap terbuka untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan komprehensif di provinsi ini.

Aceh terus menunjukkan keteguhan dalam mempertahankan budaya dan hukum Islamnya, namun selalu ada ruang untuk pembelajaran dan perbaikan agar hukum syariah dapat dirasakan lebih adil oleh setiap lapisan masyarakat.

Terkini