Gelombang Mobil Listrik Impor Guncang Industri Otomotif Nasional

Kamis, 28 Agustus 2025 | 07:56:55 WIB
Gelombang Mobil Listrik Impor Guncang Industri Otomotif Nasional

JAKARTA - Dominasi impor kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) dalam bentuk utuh (CBU) mulai menjadi perhatian serius. Kenaikan tajam arus masuk mobil listrik impor bukan hanya menekan industri otomotif nasional, tetapi juga mengancam kelangsungan usaha komponen dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tinggi.

Industri Komponen Tertekan dan Risiko Tenaga Kerja

Data terkini menunjukkan penetrasi BEV impor telah mencapai 63 persen, meningkat signifikan dibanding 40 persen pada 2024. Ketergantungan ini membuat industri dalam negeri semakin sulit bersaing.

Akibatnya, tingkat utilisasi industri otomotif yang sebelumnya berada di kisaran 73 persen kini merosot menjadi 55–60 persen. Dampaknya jelas: potensi pengurangan produksi dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin nyata.

Sejumlah pelaku industri komponen menyampaikan keluhan bahwa suplai menurun seiring dengan melemahnya penjualan kendaraan lokal. Kondisi ini membuat beberapa perusahaan mulai melakukan PHK untuk menekan beban biaya.

Gaikindo juga mencatat tren penurunan penjualan baik secara wholesales maupun ritel sepanjang Januari–Juli 2025, dengan angka penurunan mencapai sekitar 10 persen. Situasi tersebut memperlihatkan efek domino yang menekan rantai produksi, distribusi, hingga tenaga kerja.

Kebijakan Pemerintah dan Tantangan Adaptasi

Melihat gejolak yang terjadi, pemerintah mendorong agar industri komponen tidak terpaku pada otomotif semata. Dorongan untuk melakukan switching ke sektor lain seperti penerbangan dan maritim kini tengah didorong, agar ruang produksi tetap terisi dan lapangan kerja tetap terjaga.

Namun, kebijakan insentif yang selama ini memberi “karpet merah” pada BEV impor justru menuai kritik. Alih-alih memperkuat industri lokal, kebijakan ini dianggap memperlebar kesenjangan antara produk impor dengan produsen yang telah berinvestasi di dalam negeri.

Di sisi lain, mobil listrik impor masih meninggalkan jejak emisi yang tinggi. Meski dipasarkan sebagai ramah lingkungan, kenyataannya sebagian besar energi yang dipakai, termasuk dari smelter, masih berbasis batu bara. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana mobil listrik impor benar-benar mendukung agenda hijau.

Sejumlah pengamat menyarankan agar insentif impor mobil listrik dihentikan setelah periode tertentu. Langkah ini diharapkan dapat memberi ruang bagi industri lokal untuk berkompetisi secara lebih sehat, sekaligus menjaga keberlanjutan investasi yang sudah ditanamkan.

Ringkasan Isu

Isu UtamaDampakRespons / Saran
Peningkatan impor BEV CBUMenekan industri dengan TKDN tinggi, utilitas pabrik turunAlihkan sebagian produksi ke sektor lain
Penurunan produksi & penjualanVolume turun, PHK mulai terjadiPerlu proteksi bagi industri lokal
Kebijakan insentifMemperparah ketimpangan lokal vs imporHentikan setelah masa regulasi berakhir
Emisi BEV masih tinggiTidak sepenuhnya ramah lingkungan dengan energi fosilPerlu perhitungan aspek keberlanjutan

Menimbang Masa Depan Industri

Fenomena ini memperlihatkan dilema besar: di satu sisi, pemerintah ingin mendorong adopsi kendaraan listrik untuk mempercepat transisi energi. Namun di sisi lain, industri otomotif nasional harus menanggung beban berat akibat dominasi impor yang justru menggerus pasar lokal.

Ke depan, kunci keberhasilan ada pada keseimbangan kebijakan. Dorongan adopsi BEV harus berjalan beriringan dengan keberpihakan pada pelaku industri domestik. Jika tidak, ancaman gelombang impor mobil listrik bisa berujung pada melemahnya basis produksi nasional, hilangnya tenaga kerja, hingga surutnya investasi jangka panjang.

Terkini