Daftar 12 Perlengkapan Tedak Siten yang Wajib Dipersiapkan

Bru
Senin, 25 Agustus 2025 | 08:38:00 WIB
perlengkapan tedak siten

Perlengkapan tedak siten merupakan bagian penting dari sebuah tradisi Jawa yang sarat makna dan nilai budaya. 

Upacara ini diselenggarakan untuk memperingati momen bersejarah ketika seorang anak pertama kali menjejakkan kaki di atas tanah, menandai langkah awalnya dalam kehidupan. 

Tradisi ini bukan sekadar seremonial, melainkan juga mengandung filosofi mendalam yang mencerminkan harapan dan doa dari orang tua kepada sang anak.

Ritual yang kaya akan simbolisme ini menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang patut dikenali dan dijaga. 

Melalui prosesi yang terdiri dari berbagai tahapan, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan, kita bisa melihat bagaimana masyarakat Jawa mengemas nilai-nilai kehidupan dalam bentuk tradisi yang menyentuh dan penuh makna.

Menyelami sejarah, makna, serta perlengkapan tedak siten bisa menjadi langkah awal untuk memahami lebih dalam kekayaan budaya lokal sekaligus menginspirasi kita untuk terus melestarikannya.

Perlengkapan Tedak Siten

Dalam pelaksanaan tradisi Tedak Siten, terdapat sejumlah unsur penting yang perlu dipersiapkan sebagai bagian dari perlengkapan tedak siten. 

Setiap komponen memiliki makna simbolis dan fungsi tersendiri dalam rangkaian upacara. Berikut adalah daftar lengkap yang biasanya digunakan:

1. Hidangan nasi tumpeng sebagai simbol rasa syukur.  

2. Bubur merah dan putih yang melambangkan keseimbangan dan kesucian.  

3. Jenang boro-boro sebagai bagian dari sajian khas dalam ritual.  

4. Aneka jajanan pasar yang disajikan secara lengkap sebagai lambang kemakmuran.  

5. Jadah dengan tujuh warna yang mencerminkan keberagaman dan harapan baik.  

6. Kembang setaman sebagai simbol keindahan dan doa.  

7. Tangga dari batang tebu yang digunakan dalam prosesi naik tangga, melambangkan perjalanan hidup.  

8. Sangkar ayam yang dihias dengan janur kuning dan kertas warna-warni sebagai tempat anak memilih benda-benda simbolik.  

9. Wadah berisi pasir sebagai media anak menapakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah.  

10. Beras kuning dan uang kertas atau logam sebagai lambang rezeki dan keberuntungan.  

11. Perhiasan seperti kalung, gelang, dan peniti yang melambangkan kemuliaan dan perlindungan.  

12. Benda-benda bermanfaat seperti buku dan alat tulis yang mencerminkan harapan akan kecerdasan dan masa depan cerah.

Sejarah Singkat Tedak Siten

Salah satu warisan budaya dari masyarakat Jawa yang sarat makna adalah tradisi Tedak Siten. Secara etimologis, istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa: “tedak” yang berarti turun, dan “siten” yang merujuk pada tanah. 

Tradisi ini melambangkan momen penting ketika seorang anak untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di atas bumi, sebagai tanda kesiapan memasuki tahap baru dalam kehidupannya.

Ritual ini biasanya dilaksanakan ketika anak telah mencapai usia tujuh lapan dalam penanggalan Jawa atau sekitar delapan bulan dalam kalender masehi, yaitu saat anak mulai belajar duduk dan berjalan. 

Bagi masyarakat Jawa, prosesi ini merupakan bentuk penghormatan terhadap tanah sebagai tempat anak mulai mengenal dunia dan belajar berdiri sendiri.

Dalam pelaksanaannya, Tedak Siten selalu diiringi dengan doa-doa dari orang tua dan tokoh-tokoh yang dituakan. Doa tersebut menjadi simbol harapan agar anak kelak tumbuh menjadi pribadi yang sukses dalam menjalani kehidupan. 

Setiap tahapan dalam upacara ini memiliki makna tersendiri yang mencerminkan harapan akan masa depan sang anak. 

Tujuan utama dari tradisi ini adalah membentuk karakter anak agar kelak menjadi individu yang tangguh, mandiri, dan mampu menghadapi berbagai tantangan demi meraih impian.

Selain sebagai bentuk harapan, prosesi ini juga menjadi ungkapan rasa syukur atas tumbuh kembang anak yang mulai mengenali lingkungan sekitar dan belajar melangkah. 

Tedak Siten juga memperkenalkan anak kepada tanah sebagai tempat berpijak, yang dalam filosofi Jawa dikenal dengan konsep “Ibu Pertiwi Bapa Angkasa,” di mana bumi dipandang sebagai ibu dan langit sebagai ayah.

Tujuan Tedak Siten

 Tedak Siten adalah rangkaian upacara tradisional dalam budaya Jawa yang penuh dengan nilai-nilai mendalam dan harapan untuk masa depan anak. 

Tujuan utama dari prosesi ini adalah memberikan arahan dan dukungan kepada anak dalam menjalani perjalanan hidupnya. 

Melalui ritual ini, orang tua menyampaikan harapan-harapan besar, mulai dari pembentukan karakter yang mandiri, tangguh, bertanggung jawab, hingga sikap peduli terhadap orang lain.

Selain sebagai bentuk pembinaan, tradisi ini juga merupakan penghormatan terhadap tanah sebagai tempat anak mulai mengenal dunia dan belajar melangkah. 

Tedak Siten menjadi simbol rasa syukur atas tumbuh kembang anak yang mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam filosofi Jawa, dikenal konsep “Ibu Pertiwi Bapa Angkasa” yang memaknai bumi sebagai ibu dan langit sebagai ayah. 

Maka dari itu, melalui prosesi ini, anak diperkenalkan kepada tanah sebagai tempat berpijak dan bagian dari kehidupan yang harus dihormati.

Harapan besar dari pelaksanaan Tedak Siten adalah agar anak kelak tumbuh menjadi sosok yang kuat, mampu berdiri sendiri, dan siap menghadapi berbagai tantangan demi meraih impian. 

Tradisi ini juga menanamkan nilai penting tentang berbagi dan menjalin hubungan baik dengan sesama, sejalan dengan ajaran luhur dalam budaya Jawa dan nilai-nilai Islam.

Tahapan dalam Upacara Tedak Siten

Berikut adalah rangkaian tahapan dalam pelaksanaan upacara adat Tedak Siten yang sarat makna dan simbolisme:

1. Pembersihan Kaki Anak 

Tahapan pertama dimulai dengan orang tua menggendong anak untuk membersihkan kedua kakinya. Setelah itu, anak diarahkan untuk menjejakkan kaki ke tanah. 

Tindakan ini melambangkan awal perjalanan anak dalam kehidupan, dengan harapan ia melangkah dengan hati yang bersih dan niat yang suci.

2. Menapaki Tujuh Lapisan Jadah Berwarna 

Selanjutnya, anak dipandu untuk melangkah di atas tujuh potongan jadah atau tetel yang masing-masing memiliki warna berbeda. Jadah ini dibuat dari beras ketan yang dicampur kelapa muda dan sedikit garam agar terasa gurih.  

Warna-warna yang digunakan adalah merah, putih, hijau, kuning, biru, merah muda, dan ungu. 

Dalam budaya Jawa, angka tujuh disebut “pitu,” yang mengandung doa agar anak senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan dalam menghadapi tantangan hidup. Setiap warna memiliki makna tersendiri:

  • Merah: simbol keberanian untuk menghadapi kehidupan.  
  • Kuning: kekuatan fisik dan mental yang dibutuhkan setiap individu.  
  • Putih: lambang kesucian hati dan pikiran.  
  • Merah muda: cinta dan kasih sayang terhadap keluarga dan lingkungan.  
  • Biru: ketenangan batin dalam menjalani hidup.  
  • Hijau: keseimbangan dengan alam dan simbol kesuburan.  
  • Ungu: kesempurnaan sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai.

Susunan warna dari gelap ke terang menggambarkan perjalanan hidup yang penuh tantangan, dari masa sulit menuju titik terang. Keberagaman warna juga mencerminkan bahwa hambatan hidup datang dalam berbagai bentuk dan tingkat kesulitan.

3. Menapaki Tangga dari Batang Tebu 

Tahapan berikutnya adalah menaiki tangga yang dibuat dari batang tebu, berjumlah tujuh anak tangga. Kata “tebu” berasal dari istilah “antebing kalbu,” yang berarti keteguhan hati dan keyakinan diri.  

Tangga ini dibuat dari tebu jenis arjuna, yang menyimbolkan harapan agar anak memiliki sifat seperti tokoh Arjuna dalam cerita pewayangan—berani, bertanggung jawab, dan kuat.  

Setelah mencapai puncak tangga, anak diarahkan untuk turun dan kembali menginjak tanah. Kemudian, ia berjalan di atas pasir yang telah disiapkan dalam wadah. 

Di sini, anak akan mengais pasir dengan kakinya, atau dalam istilah Jawa disebut “ceker-ceker,” yang melambangkan usaha dan kerja keras dalam mencari penghidupan kelak saat dewasa.

4. Masuk ke Dalam Kurungan 

Tahapan berikutnya dalam rangkaian upacara adalah mengarahkan anak untuk masuk ke dalam kurungan ayam. Di dalamnya telah disiapkan berbagai benda seperti perhiasan, beras, buku, mainan, dan lainnya. 

Anak kemudian dibiarkan memilih salah satu dari benda-benda tersebut secara bebas. Makna dari prosesi ini adalah sebagai gambaran bahwa di masa depan, anak akan dihadapkan pada berbagai pilihan profesi atau jalan hidup. 

Barang yang dipilih oleh anak dipercaya mencerminkan minat atau arah yang akan ditempuhnya kelak.

5. Prosesi Memandikan Anak 

Setelah itu, anak dimandikan oleh orang tuanya menggunakan air yang telah diambil pada malam hari antara pukul 10 hingga 12. Air tersebut kemudian dibiarkan semalaman agar terkena embun dan sinar matahari keesokan harinya.  

Air yang digunakan telah dicampur dengan bunga-bunga sebagai simbol harapan agar anak kelak membawa harum nama keluarga dan menjadi kebanggaan orang tua. 

Setelah dimandikan, anak dikenakan pakaian baru sebagai tanda awal yang segar dalam perjalanan hidupnya.

6. Penyebaran Udhik-Udhik 

Tahapan terakhir adalah penyebaran udhik-udhik oleh ayah dan kakek anak. Udhik-udhik merupakan campuran beras kuning yang dibuat dari beras dan parutan kunyit, serta uang logam yang disebar untuk diperebutkan oleh anak-anak yang hadir. 

Makna dari prosesi ini adalah harapan agar anak tumbuh menjadi pribadi yang murah hati dan gemar membantu sesama. 

Dengan menanamkan nilai kedermawanan sejak dini, diharapkan anak akan lebih mudah memperoleh rezeki dan keberkahan dalam hidupnya.

Sebagai penutup, memahami perlengkapan tedak siten membantu kita menjaga makna dan nilai luhur tradisi, sekaligus melestarikan warisan budaya Jawa untuk generasi mendatang.

Terkini

Menikmati Beragam Menu Lezat Marugame Udon di Indonesia

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:18 WIB

Chocolate Bingsu, Dessert Segar Favorit Anak Muda Indonesia

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:16 WIB

4 Spot Burnt Cheesecake Paling Lezat di Malang

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:14 WIB

Menikmati Gelato Jogja: Ragam Rasa yang Menggoda Lidah

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:12 WIB

Little Salt Bread Viral: 4 Menu Best Seller Wajib Coba

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:10 WIB