Pengertian elegi merujuk pada bentuk karya sastra yang lahir dari perasaan duka mendalam akibat kehilangan sosok yang dicintai.
Kesedihan semacam itu sering kali menjadi beban emosional yang berat bagi seseorang hingga membuatnya sulit melanjutkan hidup seperti biasa.
Para penyair, dengan kepekaan dan imajinasi yang tajam, kerap kali tidak mampu menahan perasaan yang menyesakkan hati serta pikirannya.
Dari pergulatan batin itulah muncul karya sastra yang menyuarakan emosi secara intens.
Bentuk ekspresi yang menggambarkan kesedihan, rasa cinta yang begitu dalam, serta nuansa kehilangan terangkum dalam jenis karya bernama elegi. Karya ini memiliki kekuatan untuk menggambarkan suasana berduka secara puitis.
Berbeda dengan puisi epik atau balada yang berkembang pada masa pertengahan dan lebih banyak mengisahkan tokoh-tokoh dari mitologi atau cerita rakyat dengan sudut pandang orang ketiga, elegi justru menggunakan perspektif orang pertama.
Gaya ini membuat karya terasa lebih pribadi dan emosional karena menggambarkan langsung pengalaman si penulis. Elegi hadir sebagai cara bagi penyair untuk meluapkan emosi secara jujur dan mendalam.
Penulisan elegi biasanya disusun secara gamblang menggunakan bahasa puitis yang sarat makna.
Karya ini menjadi media perjuangan penyair untuk berdamai dengan perasaan yang menghimpit dan sebagai bentuk refleksi agar bisa terus melangkah dalam hidup.
Dengan demikian, pengertian elegi bukan hanya sebatas puisi tentang kesedihan, tetapi juga sebuah cerminan perjalanan batin dalam menghadapi rasa kehilangan secara manusiawi dan penuh makna.
Pengertian Elegi
Pengertian elegi merujuk pada jenis puisi yang menggambarkan suasana hati yang kelam atau penuh kesedihan, biasanya berkaitan dengan kehilangan seseorang.
Karya ini tidak terikat oleh aturan baku mengenai panjang, pola sajak, atau bentuk tertentu. Umumnya, puisi semacam ini ditulis sebagai bentuk penghormatan terhadap sosok yang telah tiada, dan dibalut dalam nuansa emosional yang melankolis.
Dari sisi etimologis, istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu “elegeia”, yang berarti ratapan atau ungkapan duka.
Dalam konteks kesusastraan Yunani dan Romawi kuno, istilah tersebut mengacu pada puisi yang ditulis dalam pola metrum elegiak, yakni kombinasi antara heksameter dan pentameter yang tidak memiliki pola tetap.
Tema yang diangkat dalam karya seperti ini biasanya menyentuh persoalan kehilangan dan proses penyembuhan emosional, yang kemudian dituangkan dalam baris-baris puitis bertema cinta dan duka.
Karya elegi kerap dikaitkan dengan bentuk ekspresi lain yang disebut dirge, yakni lagu yang menyampaikan perasaan duka cita akibat kematian seseorang, biasanya dengan nuansa yang tidak terlalu resmi.
Contoh dari karya semacam ini dapat ditemukan pada lagu Shakespeare berjudul Full Fathom Five Thy Father Lies, serta A Song from Shakespeare’s Cymbeline yang ditulis oleh William Collins pada tahun 1749.
Struktur umum dari elegi biasanya mengikuti tiga tahap utama yang menggambarkan proses emosional dalam menghadapi kehilangan, yaitu:
- Tahap awal berupa perasaan duka mendalam,
- Dilanjutkan dengan ungkapan penghargaan atau pujian bagi yang telah berpulang,
- Diakhiri dengan proses penerimaan dan penghiburan atas kepergian tersebut.
Dengan demikian, karya ini bukan sekadar luapan kesedihan, tetapi juga bentuk refleksi batin dan penghormatan yang mendalam terhadap sosok yang telah tiada.
Sejarah Elegi
Puisi elegi telah dikenal sejak era sastra Yunani kuno, dan pada masa itu, bentuk puisi ini memiliki peranan yang sangat menonjol.
Sebelum lahirnya gaya sastra ode, jenis ini sudah terlebih dahulu menarik perhatian dengan lagu pengiring serta biasanya ditulis dalam bentuk distichs, yaitu unit bait strofik yang terdiri atas satu baris heksameter dan satu baris pentameter.
Umumnya, elegi dipahami sebagai wujud pengungkapan rasa duka.
Namun demikian, seiring waktu para penyair mulai memperluas makna elegi dengan menjadikannya sebagai sarana untuk mengutarakan beragam emosi lainnya seperti rasa sesal atau bahkan kebahagiaan yang didorong oleh hasrat.
Beberapa karya dari Tibullus dan Propertius masih mempertahankan bentuk asli elegi Yunani untuk dinikmati oleh pembaca sastra. Salah satu karya elegi terkenal dalam bentuk puisi adalah Tristia yang ditulis oleh Ovid.
Pada masa perkembangan sastra Eropa modern, elegi kerap digunakan untuk mengungkapkan rasa muram dan sedih setelah mengalami peristiwa yang penuh gairah, sehingga membentuk ekspresi yang lebih bersemangat.
Di sisi lain, elegi yang berasal dari tradisi sastra Inggris pada awalnya tidak memuat unsur emosi lain selain ratapan.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, elegi pun tidak lagi dipahami secara sempit sebagai puisi yang hanya memuat tangisan atau kesedihan.
Di Italia, bentuk puisi ini mulai berkembang sejak abad pertengahan dengan mengikuti gaya penulisan Petrarch. Sementara itu, di wilayah Jerman, isi dari elegi telah mengalami perubahan sejak awal, di mana nuansa supranatural mulai dimasukkan ke dalamnya.
Ciri-ciri Elegi
Ciri khas dari jenis puisi elegi tradisional dapat dikenali melalui beberapa unsur berikut ini:
– Biasanya dimulai dengan ungkapan kesedihan yang mencerminkan rasa kehilangan, baik kehilangan nyawa maupun sesuatu yang berharga.
– Munculnya perasaan duka yang mendalam, disertai kekaguman seorang penulis terhadap sosok atau benda yang telah tiada dan tidak mungkin kembali.
– Umumnya ditulis dalam bentuk puisi liris yang berisi curahan perasaan, kepercayaan, serta pandangan penulis.
– Gaya bahasa serta susunan kalimat yang dipakai cenderung resmi dan penuh nuansa upacara.
– Tema yang diangkat bisa berkisar pada kefanaan hidup seseorang atau keindahan yang dimiliki oleh figur yang sangat dekat dengan hati penulis.
– Seringkali, penulis menggunakan bentuk ini sebagai medium untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar tentang hidup, kematian, dan nilai-nilai moral yang berkaitan dengan jiwa.
– Selain kesedihan, nuansa amarah atau kebencian juga dapat tersirat dalam karya ini, terutama sebagai respons emosional atas peristiwa kehilangan atau wafatnya seseorang.
– Pada bagian akhir atau tahap penutup dari puisi ini, terdapat semacam bentuk penghiburan batin yang bercorak spiritual atau optimistis, di mana penulis mulai menerima kenyataan serta mendapatkan ketenangan.
– Terdapat pula variasi jenis yang bisa bersifat sangat pribadi, tidak melibatkan individu tertentu, maupun menggambarkan suasana pedesaan.
– Bentuk karya ini disampaikan dari sudut pandang orang pertama karena penekanan utamanya adalah pada pengalaman emosional sang penulis.
Tema Dasar Elegi
Secara garis besar, puisi elegi tradisional berfokus pada tiga pokok gagasan utama berikut:
Tangisan Kehilangan
Merupakan ungkapan emosi yang muncul setelah kepergian seseorang yang sangat berarti secara permanen.
Dalam bagian ini, penyair kerap merenungkan hal-hal yang seandainya bisa dilakukan sebelum kepergian sosok tersebut, serta upaya untuk melanjutkan hidup sambil menerima kenyataan yang telah ditetapkan.
Kesedihan Mendalam
Nuansa duka yang muncul menggambarkan kondisi batin yang penuh luka, menggambarkan kehancuran hati dan rasa tidak siap menghadapi kehilangan.
Penghormatan
Bagian ini berisi penggambaran tentang hal-hal positif yang dimiliki oleh sosok yang telah pergi. Tujuannya adalah untuk memberikan kenangan yang baik bagi siapa pun yang membaca karya tersebut dan mengenal orang yang dimaksud.
Jenis Elegi
Elegi Pribadi
Jenis elegi ini ditulis oleh penyair yang sedang merasakan kehilangan mendalam karena wafatnya seseorang yang memiliki kedekatan emosional, seperti teman akrab atau anggota keluarga.
Elegi Tak Pribadi
Dalam jenis ini, penyair menyampaikan kesedihan yang tidak ditujukan kepada seseorang secara spesifik, melainkan pada kondisi manusia secara umum atau terhadap unsur tertentu dalam kehidupan dan dunia sastra modern. Salah satu contohnya adalah elegi pastoral.
Elegi Pastoral
Secara historis, puisi pastoral mengalami perkembangan yang cukup pesat di media massa abad ke-19, terutama sepanjang era Renaisans di berbagai wilayah Eropa.
Di zaman modern, dua sosok penyair yakni JV Cunningham dan Alan Dugan merevitalisasi puisi pastoral dan menciptakan pendekatan yang baru.
Elegi pastoral biasanya menyoroti tema kematian dalam kaitannya dengan nilai-nilai luhur kehidupan desa. Puisi ini memadukan unsur alam pedesaan dan perasaan duka mendalam akibat kehilangan. Ciri khas elegi pastoral meliputi:
- Berkaitan erat dengan kehidupan para gembala
- Menggambarkan suasana pedesaan
- Mengandung unsur ketenangan dan kesederhanaan
Format puisinya sering kali mencakup ajakan untuk merenung, ungkapan duka atau kepedihan yang dirasakan gembala atau penyair, penghormatan terhadap orang yang telah meninggal, serta penerimaan terhadap takdir kematian yang disertai harapan akan kehidupan abadi.
Elegi dalam Sastra Latin
Pengenalan bentuk elegi dalam bahasa Latin dimulai oleh Ennius, yang mengenalkan sistem metrum elegiac. Contoh awalnya dapat dilihat dalam penggambaran tentang budak oleh Lucilius yang menggunakan format puisi pendek dan metrum prasasti.
Dalam catatan Aulus Gellius, terdapat epigram elegiac yang mengangkat tema erotis dengan nuansa khas gaya Helenistik.
Pada masa ini juga, penyair seperti Catullus dan Ovid berperan besar dalam membentuk era keemasan puisi roman.
Khususnya pada permulaan masa kekuasaan Augustus, elegi berkembang menjadi media sastra yang menggunakan sudut pandang orang pertama dan menjadi ciri utama gaya penulisan elegiac.
Penyair Elegi yang Terkenal
Thomas Gray (1716–1771)
Salah satu karyanya yang hingga kini masih dikenal luas adalah Elegy Written in a Country Churchyard yang diterbitkan pada tahun 1751.
Rainer Maria Rilke (1875–1926)
Penyair asal Jerman ini dikenal lewat karya eleginya yang terkenal, yakni The Duino Elegies.
John Donne (1572–1631)
Di antara sejumlah karya yang ditulisnya, The Perfume termasuk dalam deretan elegi yang menonjol.
Anna Akhmatova (1889–1966)
Penyair asal Rusia ini telah menghasilkan banyak karya sastra, salah satunya March Elegy yang cukup dikenal.
Johannes Secundus (1511–1563)
Ia menerbitkan karya bertema elegi pertamanya pada tahun 1528.
Joachim du Bellay (1522–1560)
Salah satu elegi karyanya yang menarik perhatian adalah Elegy on His Cat.
Contoh Pengungkapan Elegi :
1. Elegi karya Thomas Gray ditulis pada tahun 1751 dengan judul Elegy Written in a Country Churchyard. Dalam karya ini, terlihat jelas kesedihan sang penyair saat mengenang sahabatnya, Richard West.
Melalui puisinya, Gray menyampaikan refleksi tentang kepastian hidup dan kematian yang menimpa semua manusia tanpa memandang status sosial; pada akhirnya, mereka semua berakhir dalam keterlupaan.
Karya ini dibuat di halaman gereja pedesaan dan dikenal sebagai salah satu elegi paling terkenal sepanjang masa.
2. Elegi oleh Walt Whitman, berjudul O Captain! My Captain!, diterbitkan pada 1891 sebagai penghormatan kepada Presiden Abraham Lincoln.
Dalam bait pertama, Whitman secara cermat meramu rasa kehilangan, kekaguman, dan penghiburan sehingga memberikan pengalaman membaca yang penuh kehangatan namun juga menyentuh hati pembaca.
Kesedihan atas kepergian Lincoln terasa nyata dalam setiap baris puisi ini.
3. Puisi Fugue of Death karya Paul Celan yang diterbitkan pada 1948 merupakan elegi tentang tragedi Holocaust.
Celan mencoba mengekspresikan penderitaan kolektif dan luka batin jutaan korban melalui karyanya—berdasarkan pengalaman langsungnya selama tinggal di ghetto bersama keluarga.
4. Puisi berjudul Jack oleh Maxine Kumin, diterbitkan pada tahun 2005, menjadi contoh elegi kontemporer.
Kumin menyusun puisi ini dengan awal yang ceria menggambarkan kepuasan, lalu beralih ke suasana serius yang merefleksikan kesedihan mendalam—sebuah perpaduan emosional yang sangat khas.
5. Buku The Role of Elegy oleh Mary Jo Bang, dirilis pada 2007, merupakan kumpulan renungan elegis tentang kematian dan kehidupan.
Dalam karyanya, Bang menafsirkan fungsi elegi sebagai cara untuk membangkitkan kembali makna kehidupan melalui renungan atas kehilangan.
6. “Elegiac Stanzas” oleh William Wordsworth merupakan puisi romantik yang dibuat setelah kematian saudara laki-lakinya.
Struktur puisinya menggunakan skema rima a?b?a?b dengan meter pentameter iambik, yang menciptakan suasana kontemplatif penuh kesedihan dan penghormatan.
7. Puisi berjudul “The Wanderer”, dari tradisi Inggris kuno tanpa pengarang yang diketahui, mengisahkan suara seorang pengembara bangsawan yang diusir dari negerinya akibat peperangan.
Meski tidak berpusat pada ratapan kematian, puisi ini menyampaikan tema kehancuran, kehilangan, dan waktu yang terus berjalan.
8. “In Memoriam” karya Alfred Lord Tennyson termasuk elegi tersohor sepanjang zaman.
Salah satu bait yang paling populer jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menyampaikan kedalaman perasaan duka dan penghiburan yang sangat kuat.
Saya memegangnya benar, apapun yang terjadi;
Aku merasakannya, saat aku sangat berduka;
Lebih baik mencintai dan kehilangan
daripada tidak pernah mencintai sama sekali.
Kutipan ini merupakan demonstrasi lain dari kebiasaan elegi.
Kapan Menggunakan Elegi?
Elegi termasuk dalam bentuk puisi, sehingga tidak terdapat ketentuan khusus mengenai waktu yang tepat untuk menciptakannya. Selain dituangkan dalam bentuk puisi, konsep elegi juga bisa diterapkan dalam bentuk seni lain seperti musik atau lagu.
Bahkan, ungkapan emosi yang berhubungan dengan kehilangan atau kematian dapat disalurkan melalui medium seni lain seperti lukisan, gambar, maupun musik instrumental.
Walaupun secara teknis hasil karya tersebut tidak lagi digolongkan sebagai elegi karena tidak berbentuk sajak, karya-karya ini tetap bisa dianggap memiliki sifat elegiac, yakni menyampaikan nuansa yang serupa dengan elegi, dan tetap memiliki kekuatan emosional yang mendalam.
Cara Menulis Elegi
Setelah memahami apa itu elegi, akan lebih baik jika kamu juga mencoba menciptakan karya elegi sendiri. Berikut ini beberapa tahapan yang bisa kamu ikuti untuk menulis elegi:
Membaca berbagai contoh elegi
Dengan membaca, otak akan terlatih untuk menyusun kalimat demi kalimat yang akan dituangkan dalam karya sastra.
Karya yang bermakna lahir dari proses perenungan yang dalam, berpijak pada pengalaman pribadi, serta pembelajaran yang berkelanjutan sebagai bentuk refleksi diri.
Melalui proses mengamati dan memahami berbagai bentuk elegi, kamu akan terinspirasi untuk menulis secara alami. Maka dari itu, sebelum mulai menulis, ada baiknya membiasakan diri dengan membaca karya-karya elegi terlebih dahulu.
Tentukan bentuk atau struktur tulisan
Puisi elegi tidak terikat pada struktur tertentu, sehingga penulis bebas berekspresi. Meski begitu, sebaiknya kamu memikirkan terlebih dahulu seperti apa format yang sesuai dengan selera dan gaya menulismu.
Pertimbangkan kembali bacaan-bacaan sebelumnya, serta pikirkan pesan apa yang ingin kamu sampaikan. Fokuskan pada sosok atau kejadian yang menjadi pusat cerita agar bisa menggali emosi yang mendalam.
Bila kamu sudah menentukan siapa atau apa yang akan menjadi tokoh utama dalam elegi tersebut, akan lebih mudah menentukan bentuk penulisannya.
Mulai menulis elegi
Setelah memiliki rancangan atau gambaran umum, saatnya menuangkan isi pikiran ke dalam tulisan. Tulis dengan jujur dan mengalir apa adanya. Masukkan semua hal yang ingin kamu ungkapkan, tanpa perlu khawatir salah.
Jangan ragu! Setiap tulisan pasti melalui proses revisi. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Menulis adalah sebuah keberanian.”
Jadi, beranilah untuk mulai menulis, kemudian baca kembali untuk memastikan apakah tulisanmu sudah mencerminkan emosi dan makna yang ingin kamu hadirkan.
Sebagai penutup, pengertian elegi merujuk pada bentuk puisi yang mengungkapkan kesedihan mendalam, terutama sebagai refleksi atas kehilangan atau duka cita yang menyentuh.