JAKARTA - Di tengah dinamika pembahasan reformasi perpajakan internasional, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan perlunya sistem perpajakan global yang lebih adil dan stabil. Ia menyuarakan pandangan tersebut dalam Pertemuan Ketiga Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) G20 yang digelar di Afrika Selatan.
Sri Mulyani menyatakan bahwa arsitektur perpajakan internasional yang efektif bukan semata soal pemerataan antarnegara, tetapi juga menyangkut ketahanan fiskal jangka panjang dan keberlanjutan pembangunan global.
Langkah konkret juga telah diambil oleh Indonesia dalam kerangka reformasi perpajakan global, khususnya dengan mengadopsi aturan selaras Global Minimum Tax dalam Pilar Dua. Selain itu, pemerintah saat ini tengah menyelesaikan tahapan akhir ratifikasi Subject-to-Tax Rule (STTR), yang dilakukan melalui mekanisme negosiasi bilateral.
Namun, di balik capaian tersebut, Sri Mulyani mengingatkan soal tertundanya finalisasi Pilar Satu yang hingga kini belum mencapai kesepakatan global. Pilar Satu sendiri bertujuan mengatur distribusi hak pemajakan atas keuntungan perusahaan digital multinasional yang beroperasi lintas yurisdiksi tanpa kehadiran fisik.
Pajak Digital Sepihak Dinilai Berisiko
Kekhawatiran muncul dari semakin maraknya penerapan pajak digital secara unilateral oleh sejumlah negara. Menurut Sri Mulyani, fenomena ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketimpangan dalam sistem perpajakan internasional.
"Penundaan dalam finalisasi Pilar Satu ditambah dengan maraknya pajak layanan digital unilateral, berisiko memecah belah sistem dan melemahkan kepastian perpajakan," ungkap Sri Mulyani.
Sebagai anggota aktif dalam Inclusive Framework, Indonesia memandang pentingnya menjaga kerja sama multilateral dalam reformasi perpajakan digital. Pasalnya, ketidakharmonisan aturan bisa menciptakan beban ganda bagi perusahaan, menimbulkan konflik antarnegara, dan justru menjauhkan tujuan transparansi dan keadilan fiskal global.
Pertemuan tersebut juga membahas pentingnya penyempurnaan implementasi Pilar Dua sebagai bentuk konkret penguatan sistem perpajakan lintas negara. Pilar Dua mencakup pengenaan tarif pajak minimum global, yang menjadi dasar agar perusahaan besar tak semata mengejar negara dengan tarif pajak rendah.
Selain itu, para delegasi turut menyambut laporan dari OECD dan Inclusive Framework terkait transparansi pajak, properti lintas negara (cross-border real estate), dan penguatan mobilisasi sumber daya dalam negeri (Domestic Resource Mobilisation/DRM). Seluruh pembahasan diarahkan untuk menciptakan sistem fiskal yang tidak hanya kuat secara global, tetapi juga adaptif terhadap perubahan ekonomi berbasis digital.
Perlu Sinergi Global, Bukan Tindakan Sepihak
Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa berbagai inisiatif internasional seharusnya tidak berdiri sendiri-sendiri. Koordinasi antarnegara menjadi krusial agar reformasi yang tengah dijalankan tetap efisien dan saling mendukung.
Forum ini pun mendukung penguatan Inclusive Framework dan proses penyusunan UN Framework Convention on International Tax Cooperation sebagai bagian dari upaya jangka panjang menuju kesepakatan global yang menyeluruh.
Namun, seluruh anggota sepakat bahwa harmonisasi menjadi kunci utama. Tanpa koordinasi, berbagai skema pemajakan berisiko saling tumpang tindih dan menciptakan kompleksitas baru yang justru menyulitkan pelaku usaha global dan pemerintah.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi digital yang berkembang pesat, terus mendorong agar pembahasan Pilar Satu segera diselesaikan demi menciptakan keadilan dan kepastian hukum perpajakan lintas negara.
Antisipasi Risiko, Perkuat Koordinasi
Mandeknya Pilar Satu menjadi sinyal bahwa kerja sama internasional dalam hal perpajakan masih menghadapi tantangan besar. Meskipun Pilar Dua telah berjalan, namun tanpa penyelesaian menyeluruh di Pilar Satu, sistem perpajakan global tetap rentan terhadap disrupsi, khususnya di era ekonomi digital yang semakin dominan.
Melalui forum-forum internasional seperti G20, suara negara berkembang seperti Indonesia menjadi penting untuk terus memperjuangkan keadilan fiskal. Pemerintah berharap bahwa dengan langkah kolaboratif, penyusunan aturan perpajakan global dapat mengakomodasi kepentingan bersama, tanpa harus diwarnai kebijakan sepihak yang justru merusak tatanan sistem yang ingin dibangun.