Infrastruktur

Pemotongan Anggaran Infrastruktur: Tantangan Baru bagi Emiten Konstruksi Swasta

Pemotongan Anggaran Infrastruktur: Tantangan Baru bagi Emiten Konstruksi Swasta
Pemotongan Anggaran Infrastruktur: Tantangan Baru bagi Emiten Konstruksi Swasta

JAKARTA – Kebijakan pemangkasan anggaran infrastruktur oleh pemerintah telah menimbulkan tantangan baru bagi sektor konstruksi di Indonesia. Pada saat pemerintah berusaha meningkatkan partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur nasional, keputusan untuk memangkas anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) justru menambah kekhawatiran banyak pihak.

Semula, anggaran Kementerian PUPR untuk tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp 110,95 triliun. Namun, kebijakan untuk meningkatkan efisiensi anggaran negara memaksa pemerintah memangkas alokasi ini hingga Rp 60,46 triliun, menyisakan hanya Rp 50,49 triliun. Penurunan signifikan ini diharapkan bisa meringankan beban keuangan negara, namun di sisi lain, berdampak pula pada proyek-proyek pembangunan.

Ini bukan hanya masalah bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetapi juga emiten konstruksi swasta yang selama ini sudah mengalami kesulitan mendapatkan proyek pemerintah. Salah satu perusahaan yang merasakan dampak kebijakan ini adalah PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL), sebuah nama besar dalam konstruksi dengan fokus pada pembangunan gedung bertingkat, komersial, dan industri yang umumnya berasal dari sektor swasta.

Anggie S. Sidharta, Sekretaris Perusahaan Total Bangun Persada, mengomentari situasi ini dengan tegas, "Selama ini, pembangunan gedung yang kami kerjakan masih dalam lingkup spesialisasi kami." Menurutnya, pemangkasan anggaran tersebut tidak berdampak signifikan terhadap TOTL karena bisnis inti mereka tetap stabil berkat proyek dari mitra swasta.

Alih-alih bergantung penuh pada proyek pemerintah, TOTL memilih untuk tetap berfokus pada keahlian mereka dalam sektor swasta. Ini seolah menjadi strategi jitu mengingat dinamika yang terus berubah dalam kebijakan pemerintah.

Andhika Cipta Labora, seorang analis dari Kanaka Hita Solvera, mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran ini berpotensi menimbulkan sentimen negatif bagi emiten konstruksi swasta. "Jumlah proyek yang dijalankan pemerintah akan semakin berkurang, sehingga emiten konstruksi swasta harus lebih mengandalkan kontrak dari sektor swasta," ungkap Andhika menyoroti tantangan yang bakal dihadapi sektor konstruksi ke depan.

Selain itu, sektor konstruksi juga menghadapi tantangan lain, seperti suku bunga perbankan yang masih tinggi. Hambatan-hambatan ini membuat prediksi kinerja emiten konstruksi swasta pada tahun 2025 tampak terjal dan penuh tantangan. Emiten seperti PT Acset Indonusa Tbk (ACST) diproyeksi belum mampu membukukan laba tahunan meskipun tekanan semakin meningkat.

Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst dari Mirae Asset Sekuritas, optimis bahwa emiten dengan tata kelola yang baik masih memiliki ruang untuk menunjukkan pertumbuhan positif meskipun dalam situasi penuh tantangan. “Emiten yang mampu menerapkan tata kelola perusahaan yang baik masih memiliki peluang untuk mencatatkan pertumbuhan kinerja pada tahun ini,” ujarnya.

Untuk strategi investasi di tengah situasi ini, Nafan merekomendasikan untuk menahan (hold) saham dari TOTL dan ACST dengan target harga masing-masing Rp 465 dan Rp 74 per saham. Ini menandakan masih adanya potensi untuk memperoleh keuntungan meski dalam kondisi pasar yang kurang menguntungkan. Di sisi lain, Andhika menyarankan pendekatan "wait and see" dalam mengambil keputusan investasi di tengah tren penurunan saham emiten konstruksi swasta saat ini.

Bagi investor dan pelaku pasar, perkembangan ini adalah sebuah sinyal untuk lebih berhati-hati dalam menyusun portofolio mereka. Dengan landscape investasi yang terus berubah dan kebijakan pemerintah yang fluktuatif, kemampuan adaptasi dan pemilihan strategi yang tepat menjadi kunci sukses.

Sementara itu, perhatian terus tertuju pada bagaimana pemerintah akan mengelola sektor infrastruktur dan kapan fleksibilitas anggaran bisa kembali ke level yang lebih tinggi. Emiten swasta tentu harus tetap siaga dan memantau kesempatan yang ada seiring berubahnya dinamika kebijakan yang berlaku.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index