JAKARTA - Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) kembali mengalami penurunan signifikan dalam perdagangan terkini. Pada 26 Februari 2025, saham BBCA menutup perdagangan dengan merosot 0,57% ke angka Rp 8.775. Membuat level tersebut, saham sempat menyentuh Rp 8.725, nilai terendah yang belum terlihat dalam satu tahun terakhir.
Padahal, BBCA yang dikenal sebagai salah satu saham blue-chip di Indonesia, mengalami tekanan jual dari investor asing. Sebanyak 117,84 juta saham BBCA diperdagangkan dengan frekuensi mencapai 43.907 kali dan nilai transaksi sebesar Rp 1,04 triliun. Investor asing terpantau melakukan aksi `net sell` sebesar Rp 434 miliar dalam satu hari perdagangan tersebut. Dalam satu bulan terakhir, total `net sell` oleh investor asing di saham BBCA mencapai Rp 3,66 triliun.
Situasi ini mengundang perhatian para pelaku pasar dan analis sekuritas. Meski mengalami tekanan, Phintraco Sekuritas dalam ulasannya menyampaikan bahwa saham ini memasuki fase konsolidasi. Fase ini menandakan masa transisi di mana harga bergerak dalam rentang yang sempit, mengindikasikan potensi perubahan arah atau kelanjutan tren.
"BBCA mungkin sedang berada dalam masa konsolidasi, ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Bollinger Bands menunjukkan sinyal yang sama," kata analis dari Phintraco Sekuritas.
Meskipun mengalami tekanan pada valuasinya, aksi korporasi dari pihak manajemen BCA mengisyaratkan kepercayaan mereka terhadap fundamental jangka panjang perseroan. Beberapa pejabat tinggi BCA, termasuk Direktur Utama Jahja Setiaatmadja, turut membeli saham. Jahja membeli 337.000 saham pada harga Rp 8.900 per saham dengan total transaksi Rp 2,9 miliar pada 25 Februari 2025. Sementara itu, Direktur Santoso juga membeli 20.000 saham pada harga yang sama, dengan nilai transaksi Rp 178 juta. Tambahan, direktur lain John Kosasih juga melakukan pembelian 45.000 saham di harga Rp 8.875 pada hari yang sama, dengan transaksi senilai Rp 399,37 juta.
Dalam perspektif fundamental, Sucor Sekuritas menyebut bahwa meskipun prospek pertumbuhan tahun ini tidak seagresif tahun lalu, BBCA tetap solid sebagai institusi perbankan. "Kami tetap menjaga rekomendasi beli meskipun target harga kami revisi turun menjadi Rp 11.500," kata analis Sucor Sekuritas dalam riset terbarunya.
Menanggapi kinerja dan target perusahaan tahun ini, Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, menyatakan optimisme yang berhati-hati. BCA memasang target pertumbuhan kredit tahun ini di angka 6-8% secara tahunan. Angka ini lebih rendah dari target Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang di kisaran 9-11% dan proyeksi Bank Indonesia (BI) sebesar 11-13%.
"Kami optimis, sangat optimis, tetapi tentu optimisme ini terarah. Kami harus terus memperhatikan faktor-faktor eksternal seperti daya beli masyarakat, kondisi likuiditas, juga suku bunga," ujar Jahja di acara konferensi pers saat BCA Expoversary 2025 di ICE BSD, Kamis (20/2/2025).
Untuk menjaga kinerja, pihak BCA tetap waspada terhadap tantangan yang datang dari kondisi pasar, terutama dari sisi likuiditas dan suku bunga. Menjelang akhir tahun 2024, BCA membukukan pertumbuhan kredit 13,8% mencapai Rp 922 triliun, menandakan kebutuhan untuk strategi yang lebih konservatif di tengah situasi ekonomi yang dinamis ini.
Secara keseluruhan, penurunan saham BBCA menggambarkan kondisi pasar yang sedang menghadapi berbagai ketidakpastian, baik dari segi eksternal maupun internal. Meski begitu, fundamental kuat dan kepercayaan jajaran manajemen memberikan gambaran bahwa BBCA sedang mempersiapkan diri dengan strategi yang tepat untuk tetap bertahan dan tumbuh di tahun yang menantang ini.