JAKARTA – Dalam upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan menghidupkan kembali pasar properti yang saat ini masih lesu, pemerintah telah resmi memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah tapak dan satuan rumah susun hingga akhir tahun 2025. Keputusan tersebut diumumkan pada Sabtu, 22 Februari 2025, dan diharapkan mampu merangsang konsumen serta menggairahkan kembali sektor properti yang sempat terpukul cukup dalam akibat dampak ekonomi belakangan ini.
Namun, meskipun kebijakan ini disambut dengan antusiasme oleh para pelaku industri properti, beberapa ekonom menyatakan kekhawatiran tentang efektivitas kebijakan ini dalam jangka panjang. Data menunjukkan meskipun terdapat peningkatan penjualan properti pada awal pemberlakuan insentif PPN, tren tersebut tidak berkelanjutan. Achmad Nur Hidayat, seorang Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Veteran Jakarta, menyatakan bahwa meskipun pada awal insentif diberlakukan terjadi lonjakan penjualan, tren penurunan kembali terjadi setelahnya.
"Meskipun sempat terjadi peningkatan penjualan pada awal pemberlakuan insentif, tren penurunan kembali terjadi setelahnya," ujar Achmad.
Data dari Bank Indonesia mendukung pernyataan Achmad, menunjukkan pertumbuhan penjualan properti residensial sebesar 31,16 persen (y-o-y) pada triwulan I 2024 yang awalnya hanya 3,37 persen (y-o-y) pada triwulan sebelumnya. Namun, pada triwulan III 2024, penjualan properti mengalami kontraksi sebesar 7,14 persen (y-o-y), diikuti oleh penurunan lebih tajam sebesar 15,09 persen (y-o-y) pada triwulan IV 2024.
"Ini menandakan bahwa pemberian insentif PPN saja tidak cukup untuk menjaga pertumbuhan penjualan properti secara berkelanjutan," tambah Achmad.
Menurut Achmad, masalah utama yang menghambat peningkatan penjualan properti adalah akses keterjangkauan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam memperoleh kesempatan memiliki rumah. Meskipun ada insentif PPN, tanpa adanya kelonggaran dalam sistem kredit, kebijakan fiskal ini tidak akan seefektif yang diharapkan. "Tanpa kemudahan dalam sistem kredit, kebijakan fiskal seperti PPN DTP tidak akan cukup menarik bagi calon pembeli yang masih terbebani dengan syarat kredit yang ketat," jelasnya.
Lebih lanjut, Achmad menyoroti masalah suku bunga tinggi sebagai penghambat utama daya beli masyarakat. Selama beberapa tahun terakhir, suku bunga yang tetap tinggi menjadi faktor signifikan yang membuat banyak calon pembeli rumah menunda keputusan pembelian mereka.
Untuk mencapai keberhasilan kebijakan ini, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan komprehensif. Relaksasi aturan pembiayaan dapat menjadi kunci penting dalam meningkatkan angka kepemilikan rumah, terutama di kalangan segmen MBR. Selain itu, penurunan suku bunga juga dapat berfungsi sebagai dorongan tambahan untuk meningkatkan daya beli masyarakat sehingga mempercepat pemulihan sektor properti secara berkelanjutan.
Ke depan, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan, dan pelaku industri properti untuk memastikan bahwa perpanjangan insentif PPN ini akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi sektor properti dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Dengan begitu, insentif yang ditawarkan tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek, tetapi juga mampu memberikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat dan industri properti.